ITB Berlin memantik banyak inspirasi buat Ketua ASITA Asnawi Bahar. Salah satunya, Indonesia harus punya travel mart, tempat bertemunya sesama perusahaan tour and travel, seller dan buyer.
Asnawi mengakui saat ini masih belum berimbang antara outbond dan inbound. Orang Indonesia keluar negeri 30 juta, sementara turis yang masuk baru 10 juta. Karena itu, menurutnya, tugas ke depan adalah memperbanyak inbound, arus wisman masuk ke Tanah Air.
Salah satu mimpinya adalah, menjadi host Travel Mart di tanah air. Malaysia punya MATTA Fair, yang kemudian dikembangkan ke negara-negara bagian. Dalam satu tahun bisa lebih dari tujuh seri. Singapura, Thailand, Filipina, Jepang, Korea, Hong Kong, China, India, Australia, Dubai, semua punya. “Sayang, kita belum punya,” aku Asnawi.
Menurut Asnawi, pariwisata kita hidup karena market domestik yang semakin kuat. Daya beli masyarakat Indonesia semakin kuat. Di era global saat ini, dia tidak ingin Indonesia hanya dijadikan target market bagi negara-negara lain, termasuk ASEAN yang semakin agresif. “Masyarakat Ekonomi Asean sudah mulai, jika internal tidak disiapkan dengan matang, boleh jadi, kita hanya menjadi pasar potensial saja,” katanya.
Namun, Asnawi percaya dengan proses yang sedang dijalankan Menpar Arief Yahya, termasuk pengembangan destinasi dan industri pariwisata yang semakin gencar dan cepat. Sementara promosi ke manca negara dengan berbagai saluran komunikasi juga besar-besaran untuk menancapkan brand Wonderful Indonesia.
“Ini langkah awal yang cepat dan baik. Respons pasar juga positif. Di depan, ada banyak tantangan yang sudah harus cepat ditangani dengan baik. Jangan sampai potensi yang sudah ada dan dimiliki Indonesia itu tidak bisa dioptimalkan dengan baik,” kata dia.
Menpar Arief Yahya menjelaskan, pengembangan destinasi ini tidak seperti lari sprint 100 meter. Sekarang dilepas tembakan start, 9-10 detik kemudian sudah diketahui siapa-siapa pemenangnya. Pekerjaan pariwisata itu tidak ada yang bersifat jangka pendek. Semuanya, medium dan panjang. Mungkin karena ini, tidak banyak kepala daerah yang tertarik menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor unggulan pembangunan di daerahnya.
Karena investisi yang ditanam saat ini, baru akan running 2-3 tahun, lalu mulai kelihatan respons publiknya setelah lima tahun. Sementara masa kerja bupati walikota hanya lima tahun, sehingga kalaupun jadi, hanya dicatat dalam prasasti atau monumen sebagai pejabat yang meresmikan objek wisata saja. Mungkin karena inilah, pariwisata dianggap tidak seksi selama ini.
Tetapi Menpar Arief Yahya yakin, makin banyak kepala daerah, bupati, walikota dan gubernur yang meyakini bahwa pembangunan jangka menangah dan panjang itu penting. Karena masyarakat akan mendapatkan benefit berkelanjutan dan jangka panjangnya. Hanya pariwisata yang memiliki nilai keberlangsungan yang lebih panjang. “Istilahnya, semakin dilestarikan, semakin mensejahterakan,” kata Arief Yahya.
Dia mencontohkan Bali, di saat pertumbuhan ekonomi nasional 5 persen, Pulau Dewata lebih dari 7 persen. Pariwisata itu masuk kategori gelombang keempat, setelah tiga gelombang Alfin Toefler selesai, yakni agriculture, manufactur, dan information technologi. Gelombang ke empat adalah cultural industry atau creative industry.
“Pariwisata termsuk cultural/creative industry. Ke depan, akan semakin kuat. Bahkan sangat berpotensi menggeser minyak bumi dan gas, batubara, dan kelapa sawit,” ucap Arief.
Gambar besar ini berkali-kali disampaikan Menpar Arief Yahya di banyak momentum. Bahwa pariwisata itu sudah masuk dalam lima besar prioritas pembangunan nasional, setelah infrastruktur, energi, pangan, dan maritim. Oleh karena itulah pariwisata melakukan percepatan pembangunan. (*)
Discussion about this post