PENAMPILAN Menteri Pariwisata Arief Yahya di First World Conference on Tourism for Development, Tourism for Peace and Development betul-betul menjadi perhatian dunia. Banyak potret Indonesia yang membuat kagum dunia.
Indonesia menjadi contoh konkret, bahwa pariwisata bukan saja menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga menjadi cara yang cepat dan mudah untuk menaikkan taraf hidup, kesejahteraan, mendongkrak GDP, dan menaikkan indeks kebahagiaan hidup.
“Ini kali pertama Indonesia menempatkan sektor pariwisata sebagai prioritas utama, selain infrastruktur, maritim, energi dan pangan,” kata Arief Yahya dalam konferensi yang dikemas dalam gaya talkshow di Great Hall of The People, Beijing, Tiongkok. Mantan Dirut PT Telkom ini sangat yakin bahwa pariwisata adalah rumus yang ampuh untuk menyelesaikan problem kemiskinan.
Kata-kata Arief Yahya itu cukup menantang, tetapi dia yakin karena didukung oleh data dan fakta yang bersumber dari angka global, yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga kredibel dunia. “Kami tidak asal bicara, kami selalu menggunakan data-data yang bisa diukur. Kalau nggak bisa diukur, bagaimana bisa memanage? Kami selalu menggunakan standar internasional, agar tidak berdebat kusir soal ukuran-ukuran itu. Dan kami selalu benchmarking, membandingkan dengan negara lain yang sukses, termasuk rival atau pesaing di area yang sama, agar mudah membayangan proyeksi dan achievementnya,” kata lulusan ITB Bandung, Surrey University Inggris, dan Program Doktor di Unpad Bandung itu.
Tema besar konferensi yang digelar CNTA – China National Tourism Administration (Kemenpar-nya Tiongkok) dan UN-WTO, Lembaga PBB yang mengurusi pariwisata, 18-21 Mei 2016 itu sejatinya berujung pada Sustainable Tourism Development (STD). Agar berkelanjutan, maka keberadaan pariwisata harus mengangkat harkat dan martabat serta ekonomi masyarakatnya.
Arief Yahya berbicara pada Sesi-I, dengan moderator Martin Barth, President of Tourism Forum Lucerne Swiss. Dalam satu sesi itu ada narasumber lain, Jose Gustavo Santos, Mempar Argentina, Che Min’er, Sekretary of the CPCCommittee of Guizhou Province, Aisha Muhammed Mussa, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Ethiopia, Elvas Gustas Menpar Lithuania, Ketevan Bochorishvili Georgia, Dho Young-Shim, Chairperson Sustainable Tourism for Eliminating Poverty, Bert Hofman, Country Director for China, Korea, and Mongolia, World Bank. Takafumi Ueda, Senior Advisor on Private Sector Development, Japan International Cooperation Agency. Duan Qiang, CEO of Beijing Tourism.
“Tiga hal dalam pembangunan Sustainable Tourism Development (STD) itu, yakni cultural, economic, environment (CEE). Selama ini orang hanya menghitung aspek kultural saja, belum menyentuh pada economic dan environmental. Saat ini ketiganya harus seiring sejalan, sehingga pembangunan kepariwisataan itu bukan saja mengeliminir kemiskinan, tapi akan menjadi penyumbang devisa terbesar bagi bangsa seperti di Indonesia,” tegas Arief Yahya, yang mengatakan pariwisata akan menyumbang devisa terbesar di 2019 nanti, mengalahkan minyak dan gas, batu bara, dan CPO.
Karena itu, Presiden Joko Widodo disebut Arief Yahya memiliki target kunjungan wisman dengan angka yang fantastis, double. Tidak main-main, double dalam lima tahun, itu sama dengan kenaikan 20% setiap tahunnya. Minyak dan gas tahun 2013 menyumbang US$ 32.6 miliar, tahun 2014 turun US$30,3 miliar, dan 2015 turun lagi US$18,9 miliar. Begitupun nasib batu bara yang menempati posisi kedua dalam perolehan devisa untuk negeri. Tahun 2013, batubara menyumbang US$2 4,5 miliar, lalu 2014 turun US$20,8 miliar, akhir 2015 turun lagi di US$16,3 miliar. Minya kepala sawit (CPO) juga begitu trend-nya, tahun 2013 US$15,8 miliar, lalu sempat naik US$17 miliar, dan akhir 2015 jatuh lagi di US%15,4 miliar.
“Trend itu berbeda dengan pariwisata, selalu naik, dari US$10 miliar, naik US$11 miliar dan terakhir 2015 menjadi US$11,6 miliar. Tetapi yang paling penting dan utama adalah CEO Commitment, President Commitment! Itu melebihi dari segalanya. Ketika presiden sudah menetapkan sektor pariwisata menjadi prioritas, maka semua problematika terkait dengan tourism dengan cepat akan menemukan solusinya,” sebut Arief Yahya. Statemen itu rupanya menjadi polemic, termasuk di media-media besar di Beijing –termasuk menjadi headline di China Daily– mengutip statemen Arief Yahya itu.
Li Jinzao, Chairment of CNTA juga mencontohkan di Negeri Tirai Bambu itu sendiri industri pariwisata mampu men-drive 10,8% GDP, dan menciptakan lapangan kerja 10,2%. “Lima tahun ke depan, pariwisata di China diproyeksikan bisa menurunkan 12-14 juta orang. Karena itu, pembangunan di sektor pariwisata terus akan dikembangkan,” papar Li Jinzao, Menpar-nya Tiongkok.
Industri pariwisata di China saat ini betul-betul menjadi kekuatan yang luar biasa, ketika pemerintahan menjadikan sektor ini sebagai salah satu kekuatan. Bagaimana tidak, outbond traveller-nya 120 juta orang setahun. Inbound-nya 130 juta setahun, di 2015 lalu. Sedangkan wisatawan domestik mereka 4 miliar pergerakan setahun. Angka yang fantastik, dan membuat semua negara di dunia terbelalak untuk mengambil peran di pasar Tiongkok itu.
Istvan Ujhelyi, Vice Chair of The Committee on Transport and Tourism of the European Parliament saat diberi kesempatan berbicara di forum itu bercerita soal pertumbuhan di sektor pariwisata. Hanya pariwisata yang sustainable, tidak lekang oleh waktu, terus bertumbuh dalam situasi apapun.
“Turisme akan menjadi bisnis terbesar di abad yang akan datang. Ketika bapak saya lahir 67 tahun silam, hanya ada 25 juta wisatawan di seluruh dunia. Ketika anak saya lahir 15 tahun lalu, sudah lebih dari 700 juta wisatawan. Dan sekarang, sudah lebih besar dari 1,2 miliar orang berwisata,” jelas Istvan.
Katevan Bochorishveli , Wakil Menteri Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan Georgia memperkuat statemen Arief Yahya. Beberapa tahun belakangan, kontribusi pariwisata dalam perekonomian di negerinya paling besar dan paling cepat bertumbuh. “Pariwisata bisa menciptakan lapangan kerja dengan cara-cara yang kreatif,” sebutnya untuk menegaskan bahwa secara otomatis kemiskinan akan berkurang.
Marcio Favilla, yang mantan Tourism Minister of Brasil yang kini bekerja untuk UNWTO itu menambahkan, kehadiran turisme juga bisa mengangkat pengusaha-pengusaha UMKM, usaha kecil, mikro, dan menengah. Itu sudah dia buktikan di banyak negara. “Merekalah yang akan mensupplay barang dan jasa, mendapatkan manfaat langsung maupun tidak langsung dari industri pariwisata,” jelas Marcio.
Memang di antara panelis ada yang berbeda pendapat. Takafumi Ueda, dari Japan International Cooperation Agency, misalnya. Dia memang berbeda mazhab dari Arief Yahya, yang konsisten dan percaya dengan angka-angka. Ueda memandang turisme dari sisi yang berbeda, yakni dari ilmu sosial. “Apakah dengan hadirnya banyak wisatawan, memenuhi hotel-hotel chain bertaraf internasional, menyumbangkan GDP terbesar buat negara, itu secara otomatis mensejahterakan? Bagiamana dengan dampak sosialnya?” kata Ueda bernada sinis.
Ya, memang di mana-mana selalu ada risiko. Apalagi bisnis? Selalu ada risiko, karena itu ada yang disebut risk calculate, yang tugasnya menghitung seberapa besar risiko dibandingkan dengan benefitnya. Chen Min’er, Party Chief of Guizhou Province, Tiongkok menjawab dengan gambang. “Pemerintah menciptakan peluang. Perusahaan membangun bisnis dan usaha. Masyarakat local senang menjadi suplayer barang dan jasa! Semua diuntunkan. (*)
Discussion about this post