KALAMANTHANA, Palangka Raya – Gerakan Pemuda Dayak Indonesia (GPDI) menilai kinerja Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Kalimantan Tengah buruk. Hal itu disebabkan pasokan listrik yang sangat minim di Kalimantan Tengah sehingga masyarakat secara belum bisa menikmatinya. Padahal, daerah tersebut merupakan daerah penghasil batu bara.
“Listrik di Kalimantan Tengah belum merata. Selain itu listrik juga sering padam, tetapi tagihan listrik selalu naik,” ungkap Ketua GPDI Yansen Binti di Palangka Raya, Selasa (19/7/2016).
Berdasarkan data dari Dinas Energi, Sumber Daya Alam, dan Mineral (ESDM) Kalteng, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 1 triliun saat ini. Pada 2013, iuran tetap tercatat Rp 25,72 miliar, 2014 tercatat Rp 39,94 miliar, dan 2015 tercatat Rp 31,04 miliar. Adapun royalti yang tercatat pada 2013 ada Rp 236,11 miliar, 2014 tercatat Rp 75,76 miliar, dan 2015 mencapai Rp 251,81 miliar.
Untuk tambang bauksit, sempat terjadi kelesuan dikarenakan melemahnya rupiah dan diberlakukannya larangan ekspor awal 2014 dan sektor batubara lesu karena harganya rendah. Sebagai gambaran, berdasarkan harga batubara acuan untuk batubara kualitas CV=6322 Kcal/kg GAR harganya pada Juni 2013 mencapai US$84,87 per ton FOB Vessel. Namun harga batubara acuan pada Oktober 2015 untuk kualitas yang sama hanya US$57,39 per ton FOB Vessel.
Di Kalteng saat ini baru ada pembangunan sebuah smelter galena di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat. Proses pembangunannya baru mencapai 80 persen. Direncanakan di Sampit, Kotawaringin Timur akan dibangun sebuah smelter bauksit, tapi masih dalam proses perizinan. Itu pun terkendala listrik.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Kalteng Tugiyo mengatakan, pemerintah seharusnya mengantisipasi harga komoditas yang terus turun dan memberikan kelonggaran di tengah situasi yang sulit. “Di kondisi yang lesu ini jangan dibebani, seharusnya diberi kelonggaran,” kata Tugiyo.
Menurut Tugiyo, aturan-aturan terkait hilirisasi belum sepenuhnya mendukung pengusaha, apalagi beban suku bunga dan pajak yang menyulitkan pengusaha. “Daya listrik Kalteng belum mencukupi, tapi disuruh membangun hilirisasi. Untuk mempercepat pembangunan listrik 35.000 MW, misalnya, pengurusan izinnya susah. Hal itu bisa dipercepat dengan proses lelang. Memasuki masyarakat ekonomi ASEAN, pengusaha harus dilindungi,” katanya.
Sejak 2013-2015, produksi emas di Kalteng mencapai 587,50 kilogram, perak 131.121,60 kilogram, bijih besi 2.981.699 ton, batubara 9.451.381.922 ton, ilmenite 2.433 ton, dan bauksit 7.106.119 ton.
Berbagai alasan tersebut membuat Yansen Binti menitipkan permasalahan listrik di Kalteng dalam Rapat Kerja Nasional Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) di Papua yang akan dilaksanakan akhir Juli ini. “Kami bagian dari Kalteng, segala masalah yang dihadapi pemerintah akan kami bawa dan kami bahas kembali,” kata Pengurus Pusat Komisariat Daerah (Komda) wilayah VIII PMKRI, Dicky Ricardo Gultom. (drg)
Discussion about this post