KALAMANTHANA, Palangka Raya – Memasuki musim tanam padi bulan Oktober, masyarakat Kalimantan Tengah pada umumnya membuka lahan dengan cara membakar, karena hal itu sudah terjadi dari dulu.
Untuk mengantisipasi hal hal yang tidak baik, seperti diproses hukumnya petani pembakar lahan, sebaiknya pemerintah kabupaten/kota segera mencari solusi untuk menyikapi hal itu dengan arif. Karena pembukaan lahan tani dengan melakukan pembakaran merupakan warisan dari nenek moyang dulu.
Hal tersebut di sampaikan Sekretaris DPC Pehimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Palangka Raya, Sunung Hertanto kepada KALAMANTHANA, Jumat (12/8/2016). “Jangan gara gara mau tanam padi, banyak warga yang masuk penjara,” tegasnya.
Sunung mengutarakan, prihatin dengan banyaknya berita terkait ancaman pembakaran lahan seperti pengerahan militer maupun lainnya. “Membakar lahan untuk nanam padi, itu sudah tradisi dari zaman nenek moyang saya dulu. Kita berharap pihak pemerintah harus segera cari solusi yang baik, agar membuka lahan dengan membakar bagi petani, khususnya yang mau tanam padi bisa dilakukan,” ujar Sunung.
Pola membakar yang dilakukan, menurut Sunung, untuk memperoleh kesuburan tanah tanpa menggunakan pupuk kimia. Setelah padi panen, lahan tersebut akan ditinggalkan bertahun tahun dan membuka lahan ladang yang lain. Dengan rentang waktu yang cukup lama, tanah kembali ditumbuhi pohon besar dan dipastikan unsur-unsur tanah yang hilang akibat berladang telah kembali dan bisa dipakai lagi sebagai tanah garapan untuk bertani.
Sunung juga menjelaskan, pola membakar yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak diawali dengan melakukan penebangan, dan membuat pembatasan keliling agar api nantinya tidak menjalar ke lahan lain ketika dilakukan pembakaran. Itupun jika lahan berdekatan, semua pemilik lahan yang berbatasan diajak untuk sama sama saat pembakaran lahan. Membakar juga memperhatikan cuaca denga melihat pergerakan bumi dan bulan, arah putaran angin, lama waktu panas, banyaknya curah hujan dalam satu minggu.
Membakar ladang yang baik sangat berpengaruh dengan cara penebangan, jika waktu melakukan penebangan dengan baik, asap pembakaran hilang dalam waktu dua jam. “Asap hilang, api pun padam, dan dijamin api tidak akan menjalar, karena masyarakat adat sudah paham sekali dengan cara pembakarannya, dan sudah tradisi dari zaman nenek moyang dulu,” kata Sunung.
Jangan sampai kata Sunung, petani yang bakar lahan kisaran 1-2 hektar jadi korban akibat pembakaran lahan besar besaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. “Yang jelas kita tidak ingin, ada masyarakat adat yang bakar ladang untuk bertani masuk penjara,” tegas Sunung, pemuda dari Desa Hajak Kabupaten Barito Utara ini. (ss)
Discussion about this post