KALAMANTHANA, Samarinda – Provinsi Kalimantan Timur butuh anggaran Rp20 miliar per tahun untuk mengentaskan sebanyak 685 desa yang statusnya masih kategori tertinggal dan sangat tertinggal, untuk diubah menjadi desa berkembang dan maju.
“Berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) 2016, dari 836 desa di Kaltim, terdapat delapan desa maju, 140 desa berkembang, 390 desa tertinggal, dan 295 desa sangat tertinggal,” ujar Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Kaltim Moh Jauhar Efendi di Samarinda, Rabu (14/9/2016).
Didampingi Kepala Bidang Ketahanan dan Sosial Budaya Masyarakat Musa Ibrahim, Jauhar melanjutkan untuk mengentaskan desa tertinggal dan sangat tertinggal bisa berubah menjadi desa bekembang, maju, bahkan mandiri, maka dibutuhkan dukungan biaya.
Berdasarkan hitungannya, biaya yang diperlukan untuk mengubah status desa tersebut sebesar Rp20 miliar per tahun secara terus menerus, sehingga program yang dijalankan tidak berhenti sampai desa tersebut benar-benar bisa mandiri.
Dana sebesar itu akan digunakan untuk tiga kegiatan utama, yakni untuk pembangunan infrastruktur pendukung kearifan lokal, untuk pemberdayaan masyarakat sekaligus penguatan kapasitas, dan untuk pembangunan kawasan antardesa yang melibatkan dua desa atau lebih.
“Anggaran Rp20 miliar itu tidak boleh putus supaya programnya tidak berhenti. Itulah yang kami sampaikan kepada Komisi I DPRD Kaltim saat pertemuan kemarin, karena DPRD menanyakan tentang masih banyaknya jumlah desa di Kaltim yang masih tertinggal,” kata Musa.
Menurutnya, pembangunan infrastruktur sangat diperlukan untuk mengubah status desa tertinggal bisa lebih baik, karena dengan adanya infrastruktur, maka kemampuan masyarakat dalam mengakses berbagai potensi serta kebutuhannya bisa lebih cepat.
Untuk kegiatan pemberdayaan dan penguatan kapasitas, lanjutnya, maka warga desa akan memiliki kemampuan dalam mengembangkan potensi dirinya, sehingga dimulai dari individu maupun lembaga akan lebih mandiri karena mendapat dukungan dan pembinaan.
“Infrastruktur desa memang berpengaruh terhadap maju atau tidaknya suatu desa. Namun itu bukan indikator mutlak, tapi harus pula kita melihat sejauh mana kemampuan masyarakat dalam mengeksplorasi kemampuan dirinya dan potensi lokal, karena kemampuan ini jelas berimplikasi pada pengembangan desa,” ucapnya.
Terkait pembangunan kawasan antradesa, lanjutnya, pola ini juga harus dikembangkan untuk mengurangi ego sektoral desa, seperti antara desa yang satu dengan desa tetangga berlomba meningkatkan potensi sejenis, sehingga produksi yang diunggulkan desa tidak terserap pasar.
Untuk itu, melalui pembangunan kawasan akan dibina desa A mencetak palawija, buah, atau subsektor lain, desa B mengembangkan pabrik olahan hasil pertanian, kemudian desa C dan seterusnya konsentrasi untuk jalan akses atau konsentrasi pemasaran melalui Badan Usaha Antardesa.
“Ini hanya contoh pengembangan kawasan antardesa. Masih banyak contoh lain yang bisa dikembangkan sesuai dengan potensi desa. Kalau jaringan ini sudah terbangun, tentu desa yang statusnya tertinggal dan sangat tertinggal akan bisa maju, bahkan bisa mandiri,” ujarnya. (ant/rio)
Discussion about this post