KALAMANTHANA, Palangka Raya – Aneh-aneh saja. Sebuah perusahaan hutan tanaman industri (HTI) beroperasi di wilayah Kabupaten Kapuas. Tapi, Wakil Bupati Muhajirin tidak tahu-menahu soal perusahaan tersebut.
Hal ini terkuak pada pertemuan mediasi multipihak dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang difasilitasi Komisi B DPRD Provinsi Kalimantan Tengah di ruang rapat komisi di Palangka Raya, Selasa (7/3).
Perusahaan tersebut adalah PT Industrial Forest Plantation (IFP). Perusahaan ini berlokasi di Tahasak Bor, Dusun Bereng Basuran, Desa Humbang Raya, Kecamatan Mentangai.
Wakil Bupati Muhajirin mengaku dirinya tidak mengetahui keberadaan perusahaan tersebut. Pihak perusahaan tidak pernah melaporkan kepada Pemkab Kapuas soal operasional tersebut. Karena itu, ia menyarankan pimpinan perusahaan agar segera melapor ke Bupati dan Wakil Bupati Kapuas.
“Saya minta agar pimpinan atau direksi perusahaan lapor ke bupati supaya tahu. Nanti ada ekspose dengan beberapa dinas teknis terkait,” ujar Muhajirin.
Direktur Utama PT IFP Lin Ming Lai menyebut perusahaan beroperasi saat ini adalah hasil dari pengambilalihan. Nama perusahaan tetap. Namun kepemilikannya yang berubah. PT IFP telah ada sejak 2009, namun baru beroperasi pada 2016 setelah ia membelinya dari pemilik lama.
Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kalimantan tengah (Kalteng) Sipet Hermanto, dalam pernyataannya, cenderung membela PT IFP. Dia menilai apa yang dilakukan IFP dalam program hutan tanaman industri (HTI) sudah baik.
Penilaian positif ini diungkapkan Sipet justru ketika perusahaan disorot oleh kalangan Komisi B DPRD Kalteng, beberapa warga dan tokoh masyarakat, Pemkab Kapuas, saat RDP itu.
Sipet mengatakan, program HTI PT IFP melakukan penanaman pada lahan kritis dan mengubahnya menjadi lahan produktif. Kemudian telah ada rencana kerja tahunan (RKT) dan ia mengantongi bukti bayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dibayarkan PT IFP.
“Kita patut hargai pihak perusahaan yang menanam di lahan kritis dulu. Untuk yang masih kondisi hutan dikesampingkan dulu. Jadi tidak ditebang, kecuali memang untuk mess, kantor, pembibitan, dan sebagainya,” terang Sipet.
“PNPB juga sudah dibayar PT IFP untuk pemotongan kayu/pohon dengan diameter 10 cm ke atas. Ini sudah kita cek dengan sistem online melalui aplikasi Simpony. Patut kita hargai juga, Perusahaan ini lakukan kerjasama dengan masyarakat dalam bentuk tidak cash, tetapi dalam bentuk pengelolaan hutan berasama masyarakat (PHBM), ini bagus. Penebangan di areal 1.400 ha itu juga sudah ada RKT, tidak mungkin berani tanpa RKT,” sanjung Sipet.
Faktanya, tak sedikit warga Desa Humbang Raya, Kecamatan Mentangai, yang gerah dengan operasional IFP. Mereka meminta ganti rugi lahan kebun/pohon karet dan cempedak milik warga yang digusur IFP sejak 2011.
Salah seorang warga, Ipit, merasa keberatan karena IFP tidak meminta izin kepada dirinya sehingga dia membawa bukti surat kepemilikan tanah (SPT).
Soal ganti rugi ini, Sipet mengemukakan agar ada dasar bagi perusahaan membayarkan tuntutan itu, yakni legalitas tanah. Sehingga di kemudian hari tak ada lagi warga yang mengklaim dan minta ganti rugi lagi. (llk)
Discussion about this post