KALAMANTHANA, Muara Teweh – Kegiatan pembukaan hutan, penambangan, pembukaan lahan pertanian, dan permukiman selalu bersifat paradoksal. Di satu sisi dapat memberikan manfaat ekonomi, tetapi di sisi lain berpotensi merusak ekosistem (lingkungan) sekitarnya.
“Permasalahan umum yang sering terjadi pada lahan bekas tambang batubara adalah timbulnya perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap air tanah dan air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan morfologi dan topografi lahan,” kata Bupati Barito Utara Nadalsyah dalam sambutan yang dibacakan Asisten Bidang Administrasi Umum Sekda Barut Fauzul Risma pada kegiatan konsultasi publik reklamasi pasca tambang PT BBP, kemarin.
Lebih jauh lagi, sambung Nadalsyah, perubahan iklim mikro yang disebabkan perubahan kecepatan angin, gangguan habitat biologi berupa flora dan fauna di sekitar tempat tersebut, serta penurunan produktifitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau gundul. Ini memerlukan kegiatan pelestarian lingkungan dengan cara merehabilitasi ekosostem yang rusak.
Menurut Nadalsyah, reklamasi yang berkaitan tentang kegiatan pertambangan adalah suatu usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Istilah lain yang berkaitan dengan reklamasi yaitu rehabilitasi lahan dan revegetasi. Pemerintah telah mengatur hal ini dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara.
Seperti sering diberitakan, berbagai kalangan di Kabupaten Barut terus menunggu realisasi reklamasi tambang di daerah ini. Sebab, lubang raksasa bekas galian tambang dibiarkan menganga begitu saja di berbagai tempat. Dana reklamasi telah terkumpul puluhan miliar rupiah, tetapi aksi nyata kegiatan reklamasi belum kelihatan. Kini kewenangan untuk reklamasi berada di tangan pemerintah provinsi. (mki)
Discussion about this post