KALAMANTHANA, Muara Teweh – Hubungan antara Perusahaan Besar Sawit PT Antang Ganda Utama alias AGU dengan masyarakat tujuh desa di Kecamatan Gunung Timang, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah mencapai titik nadir. Warga secara tegas meminta perusahaan sawit itu menghentikan sementara operasional di wilayah desa mereka.
Keputusan warga itu disampaikan saat rapat dengan jajaran manajemen PT Dhaniesta Surya Nusantara (DSN) selaku pengelola kebun AGU di Kantor Kebun Kandau Km 12, Selasa. Pembicaraan mengalami jalan buntu, karena kedua pihak tetap berpegang pada pendapat masing-masing.
Juru bicara warga tujuh desa yang juga Ketua Gerakan Pemuda Dayak (Gerdayak) Indonesia Wilayah Kabupaten Barito Utara Saprudin S Tingan membenarkan, warga meminta PT AGU menghentikan operasional sementara waktu di Desa Desa Kandui, Majangkan, Walur, Baliti, Ketapang, Rarawa, dan Malungai, Kecamatan Gunung Timang sampai masalah dengan masyarakat bisa diselesaikan.
“Rapat tidak menghasilkan kesimpulan. Saat PT AGU diajak untuk memperlihatkan data, ternyata mereka hanya mengeluarkan satu peta. Itu pun tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Malah kami menemukan indikasi kuat bahwa PT AGU bekerja di areal hutan produksi,” beber pria yang sering disapa Kotin ini di Muara Teweh, Rabu (13/9/2017).
Kok, Kotin berani bicara begini? Dia punya argumen, karena warga tujuh desa memegang data tentang PT AGU sejak 1998. Berdasarkan data ini pula, pihaknya menemukan indikasi kini 60 persen luasan lokasi kerja PT AGU masuk wilayah hutan produksi. “Mari kita adu data dan cek lapangan. Saya berani bilang masuk hutan produksi, karena ada bukti yang terang-benderang,” katanya.
Apa buktinya? Menurut Saprudin, PT AGU diduga melanggar UU Perkebunan Pasal 115 dimana mereka menambang hanya dengan modal MoU, tanpa mengantongi izin dari Dirjen Perkebunan sebagai syarat alih fungsi dari perkebunan ke pertambangan. PT AGU bisa dikenakan ancaman pidana kurungan badan selama 10 tahun, denda sebesar Rp10 miliar, dan wajib menyisihkan 10 persen dari hasilnya untuk PAD.
Syarat tersebut, lanjut Kotin, tidak dipenuhi PT AGU. Malah perusahaan diduga bekerja di luar HGU dan membabat hutan produksi, seluar 11 ribu hektare tanpa mengantongi izin pelepasan dari Menteri Kehutanan. Hingga saat ini tercatat sudah berlangsung selama 14 tahun dengan kedok berlindung di balik kegiatan koperasi yang semuanya berada dalam areal hutan produksi.
Kotin kembali memperingatkan agar PT AGU konsekuen dan konsisten dengan hasil kesepakatan 9 Mei 2017, karena itu merupakan sinergi yang baik bagi kedua pihak. Selama PT AGU tidak konsisten dan konsekuen, warga tujuh desa terpaksa bertindak tegas demi memperjuangkan hak-hak di atas tanah tumpah darah mereka sendiri.
“Saya sudah meminta kepada warga untuk berjaga-jaga di lokasi yang masuk Kecamatan Gunung Timang sebagai bukti kami tidak main-main dalam memperjuangkan hak kami. Belasan tahun warga tidak bisa menikmati hak-haknya,” kata pria berdarah asli Tewoyan ini.
Ketika dikonfrmasi, Humas PT AGU Said Abdullah tampak enggan memberikan keterangan. Bahkan ketika dihubungi kedua kali, dia minta waktu dan ditunggu sampai pukul 13.00 WIB, ternyata tidak dijawab. Padahal yang bersangkutan juga hadir saat rapat dengan perwakilan warga tujuh desa di Km 12, Kandau. (mki)
Discussion about this post