KALAMANTHANA, Palangka Raya – Pernyataan Jhon Krisli dan Maryono (Joyo) yang menyebutkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah meminta mahar politik berkisar Rp500 juta sampai Rp1 miliar, dianggap sudah mencemarkan nama baik partai berlambang kabah ini. Untuk itu, Joyo diminta agar segera mencabut pernyataan tersebut dan meminta maaf. Jika tidak, PPP akan menempuh jalur hukum.
Hal tersebut disampaikan kuasa hukum DPW PPP Kalteng, Agus Setiawan, saat menggelar konfrensi pres didampingi Ketua DPW Kalteng, Awaludin Noor, Sekretaris DWP Syamsul Hadi, Wakil Sekretaris Olly Suryono, Wakil Bendahara Rini, Anggota DPRD Palangka Raya, Siti Salkah dan Ketua DPC PPP Palangka Raya, Abdul Hayi, di Kantor DPW PPP Kalteng, Kamis (18/1/2018).
“Karena kenyataannya tidak pernah ada uang Rp1 miliar atau dia nawar Rp500 juta. Jika marwah partai ini terus diganggu, tentu itu ultimum remedium, akan dibawa ke jalur hukum, harus kami lakukan untuk membela nama partai. Jadi tidak ada transaksi mahar politik,” kata Kuasa Hukum DPW PPP Kalteng, Agus Setiawan.
Terkait uang sebesar Rp50 juta untuk masing-masing DPC maupun DPW, sebenarnya tidak hanya diberikan oleh Joyo saja, tetapi juga oleh pasangan lain, yang digunakan untuk biaya politik maupun operasional yang sudah ditetapkan dalam mekanisme rapat.
“Kalau ini dipersoalkan tentu pasangan lain juga mempersoalkan. Dan silahkan saja jika ada pasangan lain ingin mempersoalkan itu. Tetapi itu semua bagian dari kontraktual pribadi pasangan calon yang berkepentingan,” ujarnya.
Sebelumnya, kandidat pasangan Jhon Krisli dan Maryono yang gagal maju di Pilkada Palangka Raya, merasa dizalimi partai politik. Jhon mengungkapkan pernyataannya itu bukan karena dia dan Maryono gagal maju di Pilkada Palangka Raya. Menurutnya, hal ini semata-mata untuk kebaikan politik agar tidak semakin bobrok.
Jhon Krisli secara blak-blakan menyebutkan dua partai politik yang semula dipastikan akan mengusung dirinya bersama Maryono, namun berbalik arah memberikan dukungan kepada bakal calon lain di detik-detik terakhir. Padahal semua proses tahapan dari DPC, DPD sampai DPP diikuti. Tentu saja dengan kejadian yang menimpa dirinya dan Maryono, dia merasa dizalimi oleh partai.
“Kami ingin mengklirkan kepada pendukung kami, tim relawan, keluarga dan semua masyarakat yang memberi support. Memang secara jujur kami katakan hari ini yang sering kawan-kawan sampaikan di media bahwa partai ini seperti lelang, memang iya. Partai selama ini tidak ada uang mahar. Saya bersama dengan Pak Maryono menyaksikan sendiri seperti proyek yang dilelang, harga itu terus naik dari jam ke jam,” kata Jhon yang juga Ketua DPRD Kotawaringin Timur kepada awak media, Jumat (12/1).
Bahkan Ketua DPRD Kotawaringin Timur ini, mengakui, harga untuk satu kursi mencapai ratusan juta, sehingga jika di suksesi Kota Palangka satu pasangan calon minimal harus diusung partai politik atau gabungan parpol dengan total enam kursi, maka harus menyiapkan miliaran rupiah. Apa yang selama ini digaungkan oleh partai tidak ada mahar dan lain sebagainya, hanya pembohongan pubik saja, karena dirinya menyaksikan dan merasakan sendiri terjadi adanya transaksi jual beli.
“Kami yakin terjadi adanya pemodal besar yang bermain di belakang layar, bermain untuk mengalihkan dukungan kepada yang lain. Itu yang kami cermati,” katanya. Dia menyebut salah satu parpol di saat didatangi pukul 19.00 WIB malam, tahu-tahunya pada pukul 17.00 WIB sore sudah mengalihkan dukungannya.
Tentu saja, hal ini sudah bertolak belakang dengan prinsip partai yang ingin mencari pemimpin yang baik dan memberikan ruang melakukan penjaringan. Tetapi faktanya, semua proses termasuk hasil survei tidak berguna, karena akhirnya uang yang berkuasa. Siapa yang mampu memberikan uang lebih besar, itulah yang mendapatkan rekomendasi.
Bahkan parahnya lagi partai lainnya meminta agar membuka rekening bersama mencapai miliaran rupiah, yang tentu saja tidak dia penuhi. Berbeda jika diminta menyediakan anggaran untuk honor saksi, biaya pembinaan partai masih bisa dimaklumi. Tapi kalau harus menyiapkan anggaran untuk rekening bersama, tentu saja dipertanyakan.
“Saya katakan tidak mungkin saya penuhi dan tidak ada aturannya. Berarti kita dipaksa, ketika nanti kita terpilih, dipaksa untuk korupsi karena sudah mengeluarkan anggaran yang besar. Makanya sekarang banyak kepala daerah yang masuk bui, karena dari awal sudah mengeluarkan tas yang besar,” ujarnya. (tva)
Discussion about this post