KALAMANTHANA, Jakarta – Bupati Nonaktif Hulu Sungai Tengah, Abdul Latif, akhirnya buka suara soal mobil mewahnya yang borongan dibawa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Jakarta. Apa katanya?
Meski terlihat pasrah, ada nada kekecewaan pada pernyataan Latif. Dia menilai tidak semua mobil mewah dan motor besarnya itu harus disita KPK dan dibawa ke Jakarta karena status hukum barang tersebut belum ditetapkan.
“Ya, dilihat dululah. Barang yang mana dari kejahatan, mana yang bukan. Tidak mustri harus diambil semua kan,” ujar Latif di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Latif kembali mendatangi KPK karena diperiksa penyidik dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi suap dalam pengadaan pekerjaan pembangunan RSUD Damanhuri, Barabai.
Sebelumnya, sejumlah kendaraan mewah Latif sudah sampai di Jakarta, ditarik secara paksa oleh KPK alias disita. Ada 16 kendaraan yang disita, terdiri dari delapan mobil mewah dan delapan motor gede.
Adapun delapan mobil mewah itu terdiri dari BMW, Toyota Vellfire, Lexus, dua Hummer/H3 jenis Jeep, Jeep Rubicon Model COD 4DOOR, Jeep Rubicon Brute 3.6, dan Cadilac Escalade. Sedangkan delapan unit motor terdiri dari BMW Motorrad, Ducati, Husberg TE 300, KTM 500 EXT, dan Harley Davidson sebanyak empat unit.
Adapun sebanyak 16 kendaraan bermotor itu ditampung di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Jakarta Barat. Lucunya, KPK justru menitipkan mobil lain di Rupbasan Banjarmasin. Mobil yang dititipkan di Banjarmasin adalah kendaraan-kendaraan biasa yang harganya tidak terlalu tinggi.
KPK mengumumkan Abdul Latif sebagai tersangka penerimaan gratifikasi dan TPPU pada Jumat (16/3). Dia disangkakan menerima dari sejumlah pihak dalam bentuk fee proyek-proyek dalam APBD Pemkab Hulu Sungai Tengah selama kurun masa jabatannya sebagai Bupati.
Diduga Abdul Latif menerima fee dari proyek-proyek di sejumlah dinas dengan kisaran 7,5 sampai 10 persen setiap proyeknya. Total dugaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas yang diterima Abdul Latif setidak-tidaknya Rp23 miliar.
Terkait dugaan penerimaan gratifikasi tersebut, Abdul Latif disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selama menjabat sebagai Bupati, Abdul Latif diduga telah membelanjakan penerimaan gratifikasi tersebut menjadi mobil, motor, dan aset lainnya baik yang diatasnamakan dirinya dan keluarga atau pihak lainnya.
Dalam proses pengembangan perkara ini, KPK menemukan dugaan tindak pidana pencucian uang yang diduga dilakukan oleh Abdul Latif selama periode jabatannya sebagai Bupati Hulu Sungai Tengah.
Terkait dugaan TPPU tersebut, Abdul Latif disangkakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan Abdul Latif bersama tiga orang lainnya sebagai tersangka tindak pidana korupsi suap terkait pengadaan pekerjaan pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Damanhuri Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah Tahun Anggaran 2017 pada 5 Januari 2018.
Diduga sebagai pihak penerima, yaitu Abdul Latif, Direktur Utama PT Putra Dharma Karya Fauzan Rifani, Direktur Utama PT Sugriwa Agung Abdul Basit. Sedangkan diduga sebagai pihak pemberi, Donny Witono. (ik)
Discussion about this post