KALAMANTHANA, Jakarta – Bupati Nonaktif Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Abdul Latif, kembali bersuara soal mobil-mobil mewahnya yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi. Apa katanya?
Latif mengaku membeli kendaraan yang saat ini disita KPK bukan dari hasil gratifikasi. Sebab, mobil-mobil mewah dan motor gede itu dia belu sebelum dirinya menjabat sebagai Bupati Hulu Sungai Tengah.
“Saya menjabat dari 2016. Kalau pembelian sebelum tahun 2016, logikanya seperti apa,” kata Latif di gedung KPK, Jakarta, Selasa (3/4/2018).
Ia pun juga mengaku bahwa kendaraan yang telah disita itu tidak terkait tindak pidana korupsi yang dilakukannya saat menjabat sebagai Bupati. “Menurut saya begitu. Biar KPK bekerja dengan baik melakukan klarifikasi konfirmasi,” ujar Latif.
Saat dikonfirmasi apakah dirinya menginginkan agar kendaraannya tersebut dikembalikan, ia akan menunggu dulu proses hukum yang dilakukan KPK. “Biarlah KPK dulu melakukan penyelidikan. Kalau memang itu hak saya, pastilah akan dikembalikan,” ucap Latif.
KPK telah menyita total 23 kendaraan terkait kasus gratifikasi yang dilakukan Abdul Latif. Dari 23 mobil yang disita itu terdapat delapan mobil mewah yaitu BMW, Toyota Vellfire, Lexus, dua Hummer/H3 jenis Jeep, Jeep Rubicon Model COD 4DOOR, Jeep Rubicon Brute 3.6, dan Cadilac Escalade. Selanjutnya, Toyota Hiace sebanyak tiga unit, Toyota Fortuner, Daihatsu Gran Max sebanyak delapan unit, dan Toyota Calya sebanyak dua unit.
Selain mobil, KPK juga menyita delapan unit motor terdiri dari BMW Motorrad, Ducati, Husberg TE 300, KTM 500 EXT, dan Harley Davidson sebanyak empat unit.
Seluruh kendaraan yang disita tersebut dititipkan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Banjarmasin dan Jakarta Barat. Untuk delapan unit mobil mewah dan delapun unit motor dibawa ke Jakarta.
KPK telah mengumumkan Abdul Latif sebagai tersangka penerimaan gratifikasi dan TPPU pada Jumat (16/3). Latif sebagai penyelenggara negara menerima gratifikasi yang dianggap karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai Bupati Hulu Sungai Tengah.
Latif disangka menerima dari sejumlah pihak dalam bentuk fee proyek-proyek dalam APBD Pemkab Hulu Sungai Tengah selama kurun masa jabatannya sebagai Bupati.
Diduga Latif menerima fee dari proyek-proyek di sejumlah Dinas dengan kisaran 7,5 sampai 10 persen setiap proyeknya. Total dugaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas yang diterima Latif setidak-tidaknya Rp23 miliar.
Terkait dugaan penerimaan gratifikasi tersebut, Latif disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selama menjabat sebagai Bupati, Abdul Latif diduga telah membelanjakan penerimaan gratifikasi tersebut menjadi mobil, motor, dan aset lainnya baik yang diatasnamakan dirinya dan keluarga atau pihak lainnya.
Dalam proses pengembangan perkara ini, KPK menemukan dugaan tindak pidana pencucian uang yang diduga dilakukan oleh Abdul Latif selama periode jabatannya sebagai Bupati Hulu Sungai Tengah. Terkait dugaan TPPU tersebut, Abdul Latif disangkakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan Abdul Latif bersama tiga orang lainnya sebagai tersangka tindak pidana korupsi suap terkait pengadaan pekerjaan pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Damanhuri Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah Tahun Anggaran 2017 pada 5 Januari 2018.
Diduga sebagai pihak penerima, yaitu Abdul Latif, Direktur Utama PT Putra Dharma Karya Fauzan Rifani, Direktur Utama PT Sugriwa Agung Abdul Basit. Sedangkan diduga sebagai pihak pemberi, Donny Witono.
Diduga pemberian uang sebagai “fee” proyek pembangunan ruang perawatan Kelas I, II, VIP, dan super VIP di RSUD Damanhuri, Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Dugaan komitmen “fee” proyek itu adalah 7,5 persen atau sekitar Rp3,6 miliar. (ik)
Discussion about this post