KALAMANTHANA, Muara Teweh – Kehadiran pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi amat dibutuhkan untuk mencari solusi penyelesaian masalah di Desa Sei Rahayu I (Km 38), Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Warga Desa Sei Rahayu I khususnya yang berasal dari Maumere, Kabupaten Sikka tetap bersikeras bahwa mereka menanam padi dan jenis tanaman lain di lahan R yang dianggapnya tanah negara, karena sampai tujuh tahun berada di desa tersebut mereka belum mendapatkan lahan usaha II seluas 1 hektare sesuai dengan janji pemerintah.
“Lahan itu yang selama ini kami garap sejak kami tiba di Sei Rahayu pada Desember 2011, karena kami belum mendapatkan jatah lahan usaha II. Kenapa sekarang tiba-tiba kades datang dan seolah mau merampas tanah tersebut untuk dijadikan lahan sawit. Kami tidak percaya kalau lahan itu sudah bersertifikat,” ujar Felisitas Andriany ketika datang ke kantor PWI Barut, pekan lalu.
Pj Kepala Desa Sei Rahayu I Suryadi membantah jika dirinya dituding merampas tanah yang dikelola warga untuk bercocok tanam. “Lahan yang mau dijadikan kebun sawit milik warga dan sudah bersertifikat yang diterbitkan tahun 2000. Lahan itu bukan hak mereka, saya sudah menjelaskan kepada warga asal NTT,” katanya Selasa (1/5/2018).
Menurut Suryadi, batas antara lahan usaha II yang akan diserahkan kepada warga trans dengan lahan milik warga yang telah bersertifikat ada garis lurus dan ditandai oleh pihak desa. “Sekarang, pemilik lahan mau tanahnya ditanami sawit, satu kapling untuk satu orang. Itu ditanam di tanah pribadi,” sebutnya.
Sebelumnya Pejabat Bidang Transmigrasi, Jalal yang mendampingi Kadisnakertranskop UKM Barut Tenggara Teweng saat memberikan keterangan kepada wartawan pada Senin (30/4) mengatakan, lahan R bukanlah lahan yang berada dalam satu hamparan. Tetapi lahan yang merupakan kelebihan dari ukuran lahan pekarangan dan lahan usaha I, biasanya sepanjang satu sampai dengan tiga meter. Sedangkan lahan yang berada dalam satu hamparan digunakan untuk fasillitas umum, seperti lahan pemakaman, tanah kas desa, tanah untuk tempat ibadah, dan lokasi sekolah.
Kini permasalahan kembali ke tangan pemerintah. Sejak wilayah tersebut dijadikan lokasi trans pada 1992 kemudian dinamakan Desa Sei Rahayu I, sampai saat ini belum ada sertifikat yang dikeluarkan bagi para penghuni lokasi tersebut. Tentu menarik, jika tiba-tiba ada tanah yang telah bersertifikat di daerah tersebut, sedangkan lokasi inti trans yang terdiri dari lahan pekarangan, lahan usaha I, dan lahan usaha II belum bisa disertifikat karena berbagai alasan. Bagaimana, ini pemerintah? (mel)
Discussion about this post