KALAMANTHANA, Jakarta – Masih ingat Hambit Bintih? Bupati terpilih Gunung Mas pada Pilkada 2013 lalu, gagal dilantik. KPK dan Pengadilan Tipikor melarangnya. Kini, persoalan serupa kembali terjadi. Syahri Mulyo, tersangka korupsi, memenangkan Pilkada Tulungagung, Jawa Timur. Mendagri akan melantiknya. Masihkah KPK dan pengadilan tipikor konsisten?
Syahri Mulyo, politisi PDI Perjuangan itu, menurut hasil sementara, memenangkan Pilkada Tulungagung. Dia mengalahkan pesaingnya, mantan Ketua PWI Margiono. Padahal, sejak pertengahan masa kampanye, Syahri sudah mendekam di ruang tahanan KPK atas sangkaan tindak pidana korupsi.
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menyebutkan pihaknya akan tetap melantik Syahri Mulyo jika memenangkan pilkada, meski terjerat kasus korupsi dan mendekam di rutan KPK. “Tetap dilantik sampai ada keputusan hukum dia bersalah atau tidak,” ujar Tjahjo di Jakarta, Jumat (29/6/2018).
Tjahjo menambahkan perubahan akan terjadi setelah pengadilan mengeluarkan putusan inkrah. Meski sudah dilantik, dengan adanya putusan pengadilan yang menyatakan, Syahri Mulyo bersalah, maka dia akan di copot sesuai dengan undang- undang.
“Kalau dia diputus bersalah nanti dicabut kembali. Kemarin kan juga ada yang dilantik di LP. Di Lampung, Sultra. Kita hargai proses demokrasi, tapi proses hukum tetap berjalan,” kata dia.
Menurutnya, proses hukum dan proses demokrasi dalam pilkada harus dilihat secara terpisah. Dalam undang-undang, bila seseorang yang tersangkut hukum, namun belum mempnyai kekuatan hukum tetap, masih bisa ikut dalam proses pilkada.
“Apa pun proses pilkada yang memilih masyarakat. Soal siapa yang dipilih itu yang dimauin masyarakat, ya jalan terus,” katanya.
Menarik menunggu bagaimana sikap KPK dalam hal ini. Sebab, peristiwa serupa ini bukan pertama kali terjadi. Hambit Bintih, yang memenangkan Pemilihan Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, pada 2013 lalu, mengalami hal serupa.
Setelah memenangkan Pilkada Gumas, dia terjerat kasus korupsi dengan menyuap hakim Mahkamah Konstitusi. Hambit yang juga diusung PDI Perjuangan, tertangkap tangan bersama sejumlah pihak lainnya dan dijadikan tersangka.
Menteri Dalam Negeri saat itu, Gamawan Fauzi bersikeras hendak melantik Hambit. Dia punya pandangan serupa dengan Tjahjo, sepanjang belum ada keputusan hukum tetap, Hambit memiliki hak untuk dilantik.
Ini pun sebelumnya pernah terjadi pada proses demokrasi sebelumnya. Ada pemenang pilkada yang dilantik di rutan KPK dan kemudian dinonaktifkan karena statusnya tersangka. Gamawan menyebutkan bagaimana menonaktifkan Hambit jika dilantik saja belum. Secara legal formal, alasan Gamawan tak salah.
Tapi, tekanan publik saat itu demikian hebatnya. Termasuk dari KPK dan pegiat yang pro pada komisi antirasuah itu. KPK bahkan menolak memberikan izin pelantikan di rutan sebagaimana permintaan DPRD Gunung Mas dan Kementerian Dalam Negeri. “Pimpinan KPK tak setuju,” ujar juru bicara KPK saat itu, Johan Budi SP. Pimpinan KPK yang dominan saat itu adalah Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Tak hanya KPK, Pengadilan Tipikor juga menyatakan tak memberikan izin pelantikan Hambit yang saat itu sudah mulai menjalani proses persidangan. “Belum diizinkan pengadilan,” sebut juru bicara Kemendagri kala itu, Didik Supriyanto. Karena tak diberi izin, Mendagri kemudian melantik Hardy Rampai sebagai penjabat Bupati Gumas sebelum akhirnya melantik Arthon S Dohong sebagai bupati.
Lalu, bagaimana sikap KPK terhadap rencana Kemendagri melantik Syahri Mulyo? Tentu menarik untuk ditunggu. Yang pasti, KPK kini seperti berada dalam ujian berat. Betapapun, Syahri Mulyo dan Hambit Bintih berada pada posisi serupa, meski materi kasusnya berbeda. Tapi, jika tak memberi izin, selain tak sesuai dengan peraturan perundangan, KPK juga menafikan pilihan masyarakat Tulungagung, sebagaimana lima tahun lalu KPK menafikan suara masyarakat Gunung Mas. (ik)
Discussion about this post