KALAMANTHANA, Palangka Raya – Gedung Teater Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta akan jadi saksi bisu pertunjukan Bawi Lamus yang melibatkan 26 penari dari 8 sanggar yang lolos audiensi dan satu pemusik dari Palangka Raya serta 35 pemusik orkestra pada 13-14 Oktober mendatang.
Bawi Lamus merupakan pertunjukan seni dan tradisi Suku Dayak Ngaju dan Manyan Kalimantan Tengah, akan dikolaborasi dengan musik orkestra dan kemasan tata pertunjukan yang modern.
Naskah dibuat Paquita Widjaja-Rustandi, dibumbui simbol khas Kalimantan dalam kemasan artistik Jay Subyakto dan komposisi orkestra Erwin Gutawa. Sedangkan sutradara Inet Leimena akan merangkai pertunjukan ini bersama dua koreografer Edhi Wiluyo dan Siko Setyanto serta visual Taba Sanvhabaktiar.
Inisiator yang juga merupakan mantan Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang menyatakan pertunjukan menceritakan tentang kondisi Kalimantan, bukan hanya tentang keindahannya, tapi juga tentang cita-cita masa depannya.
“Pertunjukan ini sebagai keinginan untuk mengangkat seni tradisi Suku Dayak Kalteng agar semakin memperkuat khasanah seni dan budaya untuk Indonesia. Apa yang dilakukan ini adalah suatu sumbangan terhadap materi kebudayaan yang ada di Kalteng, dalam suatu nuansa yang lebih terpadu lagi. Ini adalah langkah awal untuk mengembangkan seni dan budaya Dayak Kalteng agar bisa mendunia, sehingga bisa dikenal secara maksimal oleh masyarakat luas,” kata Teras.
Pasalnya, lanjut Teras, Kalimantan menyimpan sumberdaya alam serta kekuatan seni tradisi yang penting dijaga dan dilestarikan sebagai salah satu potensi besar keragaman di Indonesia.
Dalam bahasa Dayak, Bawi Lamus berarti wanita cantik dan anggun. Energi yang dipancarkan oleh sosok istimewa Bawi Lamus diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan alam serta menata hubungan harmonis antar manusia dengan tetap berserah kepada Tuhan YME.
Sementara itu Jay Subyakto mengungkapkan pertunjukan itu nantinya dibagi empat segmen, yakni alam, manusia, sejarah dan harapan. Sebelum menuangkan ide ini, dirinya harus terjun langsung ke lapangan dan menemui sejumlah ketua adat.
Hal senada juga disampaikan penulis naskah Paquita Widjaja. Minimnya referensi yang dimilikinya membuat ia dan rekan-rekan lainnya harus mengetahui sejarah Dayak lebih banyak lagi baik dengan membaca kitab Kaharingan maupun melakukan susur sungai untuk melihat langsung keindahan alam di Kalimantan, yang harus dijaga kelestariannya. (tva)
Discussion about this post