KALAMANTHANA, Muara Teweh – Pelaporan adanya plasmodium malaria yang berasal dari primata kera (monyet) tahun 2015 di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, sebagai kasus pertama malaria knowlesi di Indonesia, ditindaklanjuti pemkab setempat melalui nota kesepahaman (MoU) dengan Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi di Muara Teweh, Rabu (28/11/2018) pagi. Nota kesepahaman ditandatangani Wakil Bupati Sugiano Panala Putra dan safrudin mewakili Lembaga Eijkman.
Lembaga Eikjman (Eijkman Institute for Molecular Biology) adalah lembaga penelitian biologi molekular berstatus satuan kerja di bawah naungan Kemenristekdikti RI. Nama lembaga ini diambil dari Christiaan Eijkman, peneliti peraih nobel kedokteran yang melakukan penelitian mengenai penyakit beri-beri di cikal bakal lembaga ini, pada awal dasawarsa 1900-an dan meletakkan dasar mengenai penemuan vitamin.
Kepala Laboratorium LBM Eijkman, Prof Dr Safrudin Ph.D, menjelaskan, sekitar enam atau tujuh lalu, di dunia ini ditemukan bukan hanya empat jenis malaria pada manusia. Muncul malaria spesies kelima, yaitu plasmodium knowlesi. Ini umum dan normal ditemukan pada primata monyet ekor panjang. Hewan itu endemik di seluruh Kalimantan, Sumatera, Jawa, di perbatasan Sabah dan Serawak, Malaysia. Belakangan masuk laporan, kasus malaria pada manusia yang disebabkan oleh plasmodium knowlesi.
Menurut Safrudin, laporan itu masuk pada tahun 2015 dari dr Boy Sihite yang bertugas di Kabupaten Barut. Ini mengejutkan, karena dari beberapa kali survei tidak ditemukan plasmodium knowlesi di Indonesia. “Semula kasus itu disangka falciparum. Setelah didobel cek di Lembaga Eijkman, ternyata plasmodium knowlesi. Pasiennya seorang karyawan batubara,” ujar dia kepada wartawan.
Safrudin memaparkan, kasus malaria harus ditangani secara tepat dan cepat. Sempat muncul lagi laporan tentang kasus yang sama. Tetapi kini Kabupaten Barut masuk era eliminasi, yaitu kasus malaria yang dibuktikan di pusat layanan kesehatan, puskesmas, dan RSUD sudah kurang dari 1/1000 penduduk per tahun, yakni hanya 0,36.
Adalagi syarat kedua eliminasi malaria, yakni tidak boleh ada penularan lokal. Guna membuktikan ada tidaknya penularan lokal, daerah membutuhkan ahli nyamuk, baik di level kabupaten maupun puskesmas. Itu antara lain garis besar MoU. “Kami berikan pelayanan pelatihan ahli nyamuk di Barut secara gratis. Ini harus dilakukan secara rutin minimal dua minggu dalam setahun. Ahli nyamuk harus bisa membedakan mana nyamuk DBD, nyamuk malaria, dan nyamuk chikungunya,” sebut dia.(mel)
Discussion about this post