KALAMANTHANA, Muara Teweh – Terdakwa kasus persetubuhan secara paksa alias pemerkosaan, yang juga Kepala Desa Narui, berinisial PMP alias Puncak (52) dituntut 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Liberty SM Purba di PN Muara Teweh, Kamis (1/8/2019) siang.
Sidang yang dipimpin hakim tunggal Fredy Tanada dengan agenda mendengarkan tuntutan JPU. Sidang dilakukan secara tertutup karena menyangkut perkara asusila terhadap anak di bawah umur.
“Tuntutan berkaitan dengan perlindungan anak, sebagaimana dakwaan kami. Yang pasti tuntutan sesuai dengan rasa keadilan korban,” kata Liberty kepada wartawan usai sidang di Muara Teweh.
Berapa tahun tuntutan terhadap terdakwa Puncak? “Kalau itu mungkin dengan pengacaranya atau dengan keluarga korban. Ini sidang tertutup untuk umum, sehingga kami tidak bisa memberikan keterangan lebih rinci. Setelah ini, materi sidang mendengarkan pembelaan dari terdakwa,” papar Liberty.
Puncak menjadi pesakitan di PN Muara Teweh, karena didakwa melakukan ancaman kekerasan memaksa anak di bawah umur bersetubuh dengannya. Perbuatan bejat itu terjadi pada Rabu 1 Mei 2019 sekitar pukul 12.00 WIB di sebuah sungai yang berada di Kabupaten Murung Raya.
Baca Juga: Begini Pengakuan Sekdes Setelah Putrinya Dicabuli Pak Kades di Mura
Saat itu korban, sebut saja Gadis (11) ditinggal berdua dengan terdakwa Puncak, karena ibunya pergi ke ladang mencari sayur. Sang ibu begitu percaya, lantaran Puncak masih ada hubungan kerabat. Gadis masuk kategori cucunya. Lalu terdakwa mengajak korban menjala ikan. Kala suasana sepi, terjadilah aksi pemerkosaan dengan dalih penyembuhan mata.
Pertengahan bulan lalu, istri Puncak, Y, membantah suaminya memperkosa Gadis. “Saat acara hukum adat,, korban bersaksi tidak demikian. Bapak dipaksa untuk tanda tangan. Banyak saksi yang melihat, termasuk mantir adat. Kejadian yang kemarin, tidak seperti saya lihat di berita yang ada,” kata Y kepada wartawan di Muara Teweh, Kamis (18/7/2019) petang.
Baca Juga: Istri Kades: Suami Saya Tidak Perkosa dan Aniaya Korban
Versi Y, suami tercintanya tidak pernah menganiaya, apalagi memperkosa Gadis. “Secara hukum adat, tidak ada yang menyebutkan korban dicabuli dan dianiaya,” ujar dia.
Dalam sekejap, sambung dia, muncul surat dari pelapor bahwa kades telah melakukan pencabulan dan penganiayaan terhadap korban. Sang suami, Puncak, menolak tanda tangani surat tersebut.
Tetapi, menurut Y, suaminya dipaksa tanda tangan, sehingga berlanjut ke ranah hukum. “Kasus ini tidak ada saksi. Visum dibuat tanggal 6 Mei, sedangkan kejadian katanya 1 Mei. Kami akan ungkapkan di pengadilan,” tukas dia didampingi tiga orang familinya.(mel)
Discussion about this post