KALAMANTHANA, Palangka Raya – Sehari-dua ini, Kantor DPC PDI Perjuangan Kalimantan Tengah di Palangka Raya, jadi salah satu sentral atraksi politik di Bumi Tambun Bungai. Banyak yang mendaftar, ingin mendapatkan tiket mereka pada Pemilihan Gubernur Kalimantan Tengah 2020.
Tentu saja, banyak hal menarik terjadi di kantor megah di Jalan RTA Milono, Palangka Raya itu. Tapi, yang paling membius perhatian publik tentu saja ramai-ramainya kepala daerah tingkat kabupaten yang mendaftarkan diri mengikuti proses penjaringan di partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu.
Pada Jumat (27/9), misalnya, datang Nadalsyah bersama sejumlah pengurus DPD Partai Demokrat Kalimantan Tengah, mengembalikan berkas pendaftaran. Sabtu (28/9) ini, hari terakhir pengembalian formulir, datang pula Ben Brahim S Bahat dan Perdie Yoseph.
Ketiganya adalah politisi yang cukup punya kekuatan di Kalimantan Tengah. Sampai saat ini, mereka masih menjabat kepala daerah di kabupaten yang mereka pimpin. Nadalsyah di Barito Utara, Ben Brahim S Bahat di Kapuas, dan Perdie di Murung Raya.
Nadalsyah, Ben Brahim, maupun Perdie, baru sekitar setahun lalu habis berlaga dalam kontestasi politik. Sebagai calon petahana pada pemilihan bupati di masing-masing wilayah, mereka menang dan kembali dilantik sebagai bupati. Yang melantik adalah Sugianto Sabran, atas nama Menteri Dalam Negeri. Sugianto adalah Gubernur Kalimantan Tengah yang istimewanya juga ikut berebut perahu PDIP pada Pilgub 2020.
Tak ada pasal undang-undang, baik UU Pemerintahan Daerah maupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang dilanggar. Aturan hanya menyebutkan, siapapun yang kemudian memastikan maju pada Pilkada, harus mengundurkan diri dari jabatan publik sebelumnya.
Artinya, begitu terdaftar sebagai calon gubernur di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Tengah, mereka harus mundur sebagai bupati. Proses pendaftaran itu terhitung masih cukup lama.
Dari sisi legal formal, tak ada soal. Tapi, bukan berarti tak ada yang “terganggu”. Apa itu? Etika politik. Sayangnya, di tengah euforia demokrasi yang begitu bergemuruh, terutama sejak otonomi daerah diberlakukan, etika politik itu ditempatkan di nomor buncit. Tak lagi diperhitungkan. Padahal, justru politik yang baik itu semestinya berlandaskan pada etika yang baik pula. Sebab, dari etika itulah kemudian akan memunculkan politik yang bermoral.
Salah satu gambarannya adalah betapa sejak pencalonan hingga setahun-dua pertama kepemimpinannya, soal etika politik ini cukup mengganggu Presiden Joko Widodo. Pernyataannya tentang “copras-capres” ketika baru menjadi Gubernur DKI Jakarta, menjadi senjata lawan politiknya.
Apa yang dialami Jokowi, sejatinya, juga akan terjadi pada siapapun bupati atau wali kota di Kalimantan Tengah yang akhirnya maju pada Pilkada Kalimantan Tengah. Satu hal yang pasti, siapapun yang maju, mereka akan meninggalkan “utang politik” karena takkan mewujudkan janji-janjinya ketika berkampanye di hadapan masyarakatnya pada Pilkada 2018 lalu. Meninggalkan “utang politik” untuk menuju “utang politik yang baru”.
Etika politik mengajarkan seorang politisi untuk tidak menunjukkan syahwat kuasa yang berlebihan. Dia akan memenuhi janji yang sudah terujar terlebih dulu, mengukur kemampuan, dan maju pada kontestasi yang lebih tinggi.
Sayangnya, bangsa ini tak memiliki banyak politisi penuh etika sepanjang sejarah karena politik semata-mata dimaknai sebagai jalur meraih kekuasaan. Tapi, sungguhpun sedikit, ada juga tokoh-tokoh yang mengajarkan kepada publik betapa politik itu harusnya dilakukan dengan penuh etika.
Pertama, ditunjukkan Bung Hatta ketika menanggalkan posisi sebagai Wakil Presiden. Atau, ketika BJ Habibie memilih tak maju sebagai calon presiden karena pertanggungjawabannya ditolak MPR. Terakhir, etika politik itu ditunjukkan Anies Baswedan ketika menolak permintaan Prabowo Subianto maju pada Pilpres 2019 dengan alasan agar bisa memenuhi janjinya kepada warga Jakarta. (ik)
Discussion about this post