KALAMANTHANA, Muara Teweh – Terpidana Antonius (52), petani kecil dan lugu asal Desa Kamawen, Kabupaten Barito Utara, mendapatkan suport dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Palangka Raya.
Antonius divonis satu tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider kurungan tiga bulan oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Muara Teweh.
Majelis hakim diketuai oleh Cipto Nababan dengan anggota Teguh Indrasto dan Fredy Tanada. Tinggal Teguh yang masih bertugas di PN Muara Teweh sampai hari ini.
Vonis tersebut jauh lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya, yakni dua bulan penjara dan denda Rp 500 ribu, atas tuntutan membakar lahan.
Menanggapi hal tersebut, PMKRI Cabang Palangka Raya menyayangkan putusan majelis hakim PN Muara Teweh, karena dirasa memberatkan Antonius.
Baca Juga: Forum Komunikasi Pemuda Kalteng di Barito Utara Ikut Bicara Bela Antonius
Ketua Presidum PMKRI Cabang Palangka Raya, Obi Seprianto, Selasa (28/9/2021) menyampaikan keprihatinan atas putusan hakim yang dinilai memberatkan terdakwa atas tuduhan membakar lahan.
“Saya rasa, putusan hakim yang diambil masih keliru dan tak mempertimbangkan aspek berladang dengan kearifan lokal suku Dayak. Salah satunya dengan tata cara dan ritual membakar ladang juga diketahui dan dilindungi oleh konstitusi.” ungkap Obi.
Menurur dia, dilindungi oleh konstitusi dimaksud, dengan jelas tertera pada penjelasan Pasal 69 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi : Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”.
“Sehingga ini jelas putusan hakim tersebut tidak memperhatikan kearifan lokal suku dayak di Kalimantan Tengah, khususnya di Barito Utara. Apalagj bagi rakyat kecil sekelas Anonius, tentu sangat memberatkan,” ucap Obi.
Keprihatinan juga disampaikan Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Palangka Raya, Rizky Pratama, bahwa proses persidangan yang terjadi pada Antonius terkesan jauh dari asas berkeadilan.
“Proses persidangan yang dilalui Antonius sangat kontroversial, karena seorang masyarakat awam yang belum begitu mengetahui proses persidangan, menjalani sidang tanpa panasehat hukum disampingnya. Hal ini sangat bertentangan dengan pasal 28D UUD 1945 yang menjamin hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dimata hukum,” sebut Rizky.
Berdasarkan komunikasi PMKRI dengan Jubendri Lusfernando, sebagai pendamping Antonius selama proses pengadilan hingga putusan, diketahui Antonius tak memiliki pengacara atau panasehat hukum. Jubendri mendampingi Antonius, karena yang bersangkutan kesulitan berbahasa Indonesia.
Baca Juga: 38 Mahasiswa Ikuti MPAB I PMKRI Cabang Palangka Raya
“Beliau tak mampu menyanggah, tak juga mampu membantah karena tak paham apa yang dijelaskan dan yang disampaikan. Di sini ada kejanggalan untuk ditelaah. Tidak hanya di Barito Utara, seluruh tokoh adat dan masyarakat di Kalimantan Tengah mengecam putusan hakim yang jauh dari keadilan itu,” tegas dia
Rizky menyatakan, Antonius bukan penjahat lingkungan hidup, karena tidak membakar lahan. Dia dijebak dan dijadikan korban, secara khusus masyarakat Dayak Kalimantan Tengah. Peladang atau petani Dayak bukan penjahat. “Menghukum peladang, menghukum petani yang tak bersalah sama halnya menghukum nenek moyang kami sebagai orang Dayak yang sudah hidup sebelum adanya aturan pemerintah,” tukas dia.(melkianus he)
Discussion about this post