KALAMANTHANA, Muara Teweh – Pembagian ganti rugi lahan di Desa Muara Mea, Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara masih berbuntut. Para pewaris, yakni Sutnadi, Supi Asral, dan kawan-kawan tetap tak mau menandatangani berita acara mediasi.
“Kami tidak mau menandatangani berita acara mediasi 7 Desember 2021, karena berbagai alasan. Sebaliknya dari data yang kami punyai dan pelajari, ada indikasi lahan yang dibebaskan itu masuk areal sakral Gunung Peyuyan. Kami sedang berkoordinasi dengan beberapa tokoh agama Hindu Kaharingan dan tetua desa untuk menyatakan sikap,” jelas dia kepada Kalamanthana.id, Minggu (16/1).
Dia memastikan, dari hasil komunikasi dan koordinasi dengan tokoh agama, tetua desa, dan tokoh masyarakat, beberapa di antaranya sepakat untuk menuntut. “Kita sedang menyusun pola dan cara paling tepat,” kata Kades Lampeong II ini.
Baca Juga: Nama Kades Muara Mea Tertera Dalam 2 Daftar Penerima, PT MUTU Mengaku Tidak Tahu
Camat Gunung Purei Ester, saat dihubungi Jumat (14/1) lalu mengatakan, pemerintah Kecamatan Gunung Purei dan Tripika sudah dua kali melakukan mediasi, pada 5 November dan 7 Desember 2021.
“Memang belum ada titik temu. Tetapi hasil mediasi telah dilaporkan kepada Pemkab Barito Utara. Soal minta bantuan pemkab untuk turun tangan, karena mediasi menemui jalan buntu, kita harus bicarakan dulu dan rapat dengan Tripika,” kata dia.
Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Barito Utara, Bahrum Pordelin Girsang, saat ditemui pekan lalu membenarkan, adanya laporan dari Camat Gunung Purei. “Tidak ada peemintaan mediasi, sehingga kami hanya memantau sesuai dengan laporan,” kata pria yang tercatat lama menjadi Camat Gunung Purei ini.
Seperti diberitakan sebelumnya, perusahaan tambang PT Multi Tambangjaya Utama atau MUTU, membagikan uang ganti-rugi lahan bernilai miliaran rupiah kepada para pemilik dan pewaris tanah warga Muara Mea, Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara.
Namun muncul masalah, tidak semua pewaris warga Muara Mea menerima uang. Salah satunya Sutnadi. Ganti rugi lahan ditetapkan Rp40 juta per hektare dan dibayarkan Rp3,5 juta per hektare. Total lahan yang diganti rugi seluas 300 hektare.
“Ganti rugi dibayarkan lewat rekening Bank Mandiri pada 1 Oktober 2021 mencapai Rp12 miliar. Uang ditransfer ke rekening para pemilik tanah dan pewaris. Termasuk kepada Kades Muara Mea, Jayapura, bernilai ratusan juta, karena mewakili beberapa orang,” kata Sutnadi kepada wartawan di Muara Teweh, Kamis (9/12).
Belakangan diketahui, Ternyata nama Kepala Desa Muara Mea, Jaya Pura, tertera dalam dua daftar nama penerima uang ganti rugi dari PT Multi Tambangjaya Utama (MUTU), pemegang konsesi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) di Kalimantan Tengah.
Sutnadi memaparkan, dalam daftar nama calon penerima uang ganti rugi dari PT MUTU tercatat Jaya Pura masuk dalam dua daftar, yakni:
(1) Mewakili 15 orang untuk lahan seluas 100 hektare dengan nominal uang Rp350 juta.
(2) Atas nama Jaya Pura sendiri lahan seluas 34 hektare nominal uang Rp119 juta.
“Artinya ada uang sebesar Rp469 juta yang bakal diterima Saudara Jaya Pura. Padahal tanah di Muara Mea milik bersama. Belakangan dua orang, termasuk saya dicoret sebagai ahli waris tanpa alasan yang jelas,” beber pria yang juga Kepala Desa Lampeong II, Sabtu (11/12).
Jaya Pura kepada pers, Senin (13/12/2021) tidak membantah terkait namanya ada dalam dua daftar penerima ganti rugi lahan.
“Sutnadi memang tidak mendapatkan bagian atas uang pembebasan lahan tersebut, karena bukan merupakan warga Desa Muara Mea,” tegas Jaya Pura.
Jaya Pura menambahkan, pembebasan lahan merupakan kesepakatan berdasarkan musyawarah. Bahwa penerima ganti rugi adalah penduduk tetap dan penduduk kelahiran Desa Muara Mea.
Sistem pembagian ganti rugi, lanjut Jaya Pura, mencakup:
(1) Penduduk tetap atau berdomisili di Desa Muara Mea mendapat delapan hektare.
(2) Penduduk kelahiran Desa Muara Mea yang pindah karena menikah mendapat empat hektare.
3) Warga yang hanya lahir di desa Mua Mea mendapat dua hektare.
Jaya Pura bahkan menuding, Sutnadi ingin ikut campur tangan atau intervensi soal ganti rugi lahan di Muara Mea. “Sutnadi datang ke rumah saya, meminta pembagian yang sama seperti masyarakat Desa Muara Mea. Dia tidak mau kalau cuma diberi sejenis saweran,” kata Jaya Pura.
Permintaan tersebut ditolak oleh Jaya Pura, karena alasan Sutnadi bukan warga Muara Mea. ”Soalnya kita nanti bisa dikomplain warga, mengapa orang luar bisa dapat,” sebut dia.
Mengenai dua daftar atas nama dirinya, Jaya Pura menjelaskan, dalam pencairan uang pembebasan lahan, ada warga terkendala pembuatan rekening bank, sehingga untuk pencairan uang di bank menggunakan namanya.
“Ada tiga keluarga yang dimasukan ke kita, makanya luasan atau hektare dan uangnya menjadi banyak. Milik saya dan keluarga hanya berjumlah empat orang. Ini yang dipelesetkan di luaran sana, kades paling banyak dapat,” tutur Jaya Pura.
Manajemen PT Multi Tambangjaya Utama (MUTU), pemegang konsesi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) di Kalimantan Tengah, menjawab soal pembebasan lahan di Desa Muara Mea, Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara.
“Kami melakukan pembebasan lahan berdasarkan kesepakatan warga Desa Muara Mea. Jadi kami tidak membebaskan dari orang per orang,” kata Perwakilan Manajemen PT MUTU yang hadir saat mediasi di Lampeong, Joi Oroh, menjawab pertanyaan Kalamanthana.id, melalui platform WhatsApp, Jumat (10/12/2021).
Joi menerangkan, PT MUTU sudah membebaskan lahan seluas 300 hektare di Muara Mea. “Jadi soal pembagian diatur oleh desa berdasarkan musyawarah warga desa. Kami tidak turut campur atau intervensi kesepakatan di desa,” tambah Joi.(Melkianus He)
Discussion about this post