KALAMANTHANA, Muara Teweh – Bupati Barito Utara Nadalsyah, memimpin rapat mediasi antara Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak (Batamad) Barito Utara dengan PT Multi Persada Gatramegah (MPG) di Muara Teweh, Senin (21/3/2022).
Hasil mediasi yang dipimpin Bupati Barito Utara masih mengambang, karena belum ada keputusan pasti bagi kedua pihak.
Satu hasil keputusan mediasi bahwa pihak PT MPG akan melaporkan ke manajemen pusat terkait putusan Peradilan Adat paling lambat satu minggu. Selama jangka waktu tersebut, tak ada aktivitas di lokasi sengketa.
Proses mediasi di rumah jabatan Bupati Barito Utara dipandu oleh Sekda Muhlis. Pokok masalah, ada putusan Peradilan Adat terhadap PT MPG untuk membayar sanksi adat berupa denda singer sebesar Rp900 juta. Tetapi PT MPG menolak pembayaran tersebut.
Di hadapan Forkopimda dan kedua pihak, Bupati Nadalsyah mengatakan agar permasalahan diselesaikan secara win-win solution.
Bupati menyatakan bahwa selaku pemerintah merasa dilematis, karena satu sisi mesti menjaga iklim berinvestasi, sedangkan di sisi lain, nasib masyarakat di Barito Utara berada di pundak pemerintah.
Nadalsyah memosisikan pemerintah daerah sebagai pihak tengah dalam mengambil keputusan. Pemeritlntah mesti obyektif dalam menilai permasalahan.
“Untuk permasalahan lahan, sertipikat HGU PT MPG dikeluarkan setelah clear and clean sengketa tanah. Seharusnya tidak ada lagi permasalahan bilamana sudah clear and clean,” sebut Nadalsyah.
Terkait tuntutan Peradilan Adat, Bupati mengatakan bahwa itu ada tetapi tidak bertentangan dengan hukum positif.
“Sesuai dengan Perda Provinsi Kalteng Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Pada penjelasan pasal 28 ayat (1) keputusan adat bersifat final dan mengikat para pihak,”tambah dia.
Namun bila para pihak sepakat untuk mencari keadilan melalui peradilan umum atau hukum nasional, itu menjadi hak para pihak. “Keputusan Peradilan Adat dapat menjadi bahan pertimbangan hakim,” ucap Nadalsyah.
Kajari Barito Utara Iwan Catur Karyawan menyebutkan, setiap putusan pada Peradilan Adat mempunyai roh, yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan.
Sifat putusan hukum adat adalah mutlak tapi relatif. Mutlak karena ada putusan dan relatif yang artinya masih menyesuaikan dan mengedepankan aspek saling menghargai dan mempertimbangkan suasana kekeluargaan sebagai kearifan lokal.
Menurut Iwan, denda yang diputuskan Peradikan Adat, dapat dibayarkan dengan pola CSR sehingga bermanfaat bagi masyarakat luas.
“Jangan sampai mengganggu prospek investasi di Barito Utara. Kita berharap permasalahan sampai di sini. Hukum adat tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku,” kata Iwan.
Kapolres Barito Utara AKBP Gede Pasek sepakat dengan Kajati bahwa eksistensi masyarakat adat harus dihormati. Ini untuk memujudkan keamanan masyarakat di Barito Utara tetap kondusif untuk segala kegiatan masyarakat dan investasi.
“Terlebih Kabupaten Barito Utara merupakan kota terdekat dengan ibu kota negara (IKN), jadi brand keamanan yang kondusif harus terjaga dengan baik,” ujar Gede Pasek.
Dandim 1013/MTW Letkol (Inf) Edi Purwoko meminta semua pihak duduk berdampingan. “Kita semua ingin duduk berdampingan menerima investor dan saling berkolaborasi untuk menyejahterakan masyarakat. Sekecil dan sebesar apapun masalahnya agar dapat terselesaikan dengan baik, ” tukas Edi.
Rapat mediasi berlangsung sekitar tiga jam, mulai pukul 14.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB. Tidak ada undangan kepada media massa, kecuali Humpro Setda Barito Utara.
Setelah mediasi berakhir, baik pihak Batamad maupun PT MPG belum menjawab pertanyaan yang dilayangkan media ini.
Masalah antara perusahaan sawit dengan masyarakat bukan hanya di PT MPG, tetapi juga di PT Antang Ganda Utama (AGU/DSN). Bahkan di PT AGU situasi lebih pelik, karena melibatkan dua kelompok Organisasi Masyarakat Dayak berhadap-hadapan di lapangan. (MELKIANUS HE)
Discussion about this post