KALAMANTHANA, Muara Teweh – Tak sia-sia Siswanny Zebua, istri Amirruddin Halawa, mantan Humas PT Multi Persada Gatra Megah (MPG) mendatangkan pembela dari Medan, Sumatera Utara. Seorang saksi, bernama Ali Akbar yang juga Humas PT MPG dibuat mati kutu, saat sidang lanjutan di PN Muara Teweh, Barito Utara, Kalimantan Tengah, kemarin.
Dalam sidang lanjutan mendengarkan keterangan saksi, kemarin, lidah Ali Akbar seakan kelu, ketika dicecar pertanyaan beruntun dan menohok dari tim pengacara terdakwa, yakni Juliandi, Muhammad Rhido Hidayat, dan pengacara lokal Barut Herman Subagyo.
“Sangat mengherankan, saat proses pencairan ganti rugi, seharusnya warga yang merasa dirugikan bukan perusahaan, karena pada kuitansi pembayaran serta nilai nominal uang sudah diketahui warga Rp10 juta per hektare. Kalau belakangan warga memberikan uang kepada terdakwa sebesar Rp2 juta per hektare, itu bersifat suka rela dan mereka ikhlas. Kami tidak melihat adanya kesalahan seperti yang dituduhkan ,” kata pengacara terdakwa.
Tak cukup disitu saja, pengacara juga mempertanyakan maksud mark-up (penggelapan) yang dilaporkan PT MPG kepada polisi, sehingga menyebabkan Amirruddin duduk sebagai pesakitan. “Kami merasa aneh kalau kemudian pihak perusahaan mengadukan kliennya dengan tuduhan mark-up. Sedangkan warga yang menjual tanah sama sekali tidak merasa dirugikan. Lalu apa dan di mana mark-upnya?” cecar pengacara dengan nada tinggi.
Penasihat hukum menambahkan, apa yang telah dilakukan oleh kliennya sudah sesuai prosedur atau standar operasi perusahaan. Baik pada saat negosiasi dengan warga sebagai pemilik lahan, sampai dengan proses pencairan uang ganti rugi lahan, karena semua disertai tanda bukti bahkan diketahui oleh pimpinan PT MPG, sehingga pembayaran ganti rugi dapat direalisasikan.
Ali Akbar selaku saksi sekaligus pelapor dianggap mengetahui, melihat, dan mendengar secara jelas kasus ini, karena dia berada dalam manajemen yang sama dengan terdakwa Amirruddin, pada bagian humas PT MPG. Bahkan akibat laporan Ali, terdakwa harus merasakan pengapnya jeruji besi.
Pengadilan perkara ini dipimpin oleh hakim ketua Ali Febrian didampingi dua hakim anggota. Sedangkan bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) Harry Baskoro. Sidang ini menarik perhatian karena bermula dari masalah internal di PT MPG. Di Kabupaten Barut, tergolong jarang perusahaan mengadukan karyawannya sendiri apalagi berujung di meja hijau.
Seperti diberitakan sebelumnya, Siswanni Zebua, istri Amirruddin datang ke Kantor PWI Kabupaten Barut, Rabu (19/9), menceritakan kisah pilu yang dialami suaminya sejak menjalani penyidikan di Polres Barut sampai menghadapi dakwaan di PN Barut. “Saya datang ke sini mohon bantuan, agar keadilan dapat ditegakkan seadil-adilnya. Jangan hukum orang yang tidak bersalah,” tegas wanita asal Sibolga itu di hadapan wartawan.
Masalah mulai muncul, karena belakangan perusahaan justru menuduh pihak humas memark-up harga pembelian lahan, padahal Amirruddin tak punya hak menentukan harga dan pembayaran pun sudah ditentukan dari manajemen pusat PT MPG, humas tinggal menjalankan perintah pembayaran.
Kemudian masalah ini berujung ke Polres Barut pada 25 Mei 2018, secepat kilat pada 31 Mei 2018 keluar surat penetapan Amirrudddin sebagai tersangka. Kasus berlanjut dengan sangkaan penggelapan dalam jabatan, sesuai dengan Pasal 372 juncto 374 KUHP bergulir pertama kali 28 Agustus 2018 di PN Barut.
“Saya tidak bisa menerima semua ini begitu saja, karena selama 4,5 tahun suami saya bekerja di Musim Mas Grup tak pernah ada perbuatan tercela. Sejak awal masalah ini, keluarga saya juga selalu beritikad baik untuk mengganti uang Rp15 juta, bahkan di-PHK, kalau memang suami saya dianggap dan dinilai bersalah. Tetapi tidak ada respon dari perusahaan, malah dipidanakan,” ucap Siswanni.(mel)
Discussion about this post