KALAMANTHANA, Jakarta – Polri tampaknya akan menghadapi perjalanan panjang pada penanganan kerusuhan 21-22 Mei lalu. Kecuali membentuk tim pencari fakta (TPF), mereka kemungkinan juga akan bekerja keras di Mahkamah Internasional.
Pasalnya, Kelompok Relawan Kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee atau MER-C, berencana melaporkan aparat Kepolisan Indonesia ke Mahkamah Internasional. Hal ini, lantaran aksi dugaan kekerasan aparat terhadap warga sipil, termasuk petugas medis dan anak di bawah umur pada aksi 21-23 Mei 2019.
MER-C saat ini mengumpulkan sejumlah berkas dan alat bukti yang ada. Beberapa alat bukti di antaranya peluru tajam yang diduga digunakan oleh aparat di lapangan.
“Jadi, ada peluru tajam dan ini belum terpakai, ini ditemukan oleh tim kami di lapangan,” kata Relawan Medis MER-C, Joserizal di kantornya, Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (25/5/2019).
Alat bukti lainnya, yakni ditemukannya selongsong peluru karet yang sudah terpakai. Selain itu, ditemukan juga timah yang diduga bekas peluru yang berasal dari senjata laras pendek.
“Ini ada timah, biasanya dari senjata genggam atau revolver. Nah, ini selongsongnya, sepertinya peluru karet. Ini diambil dari pasien yang dioperasi, ini diambil dari relawan,” jelas Jose.
Selain itu, MER-C juga tengah mengumpulkan keterangan dari saksi yang ada untuk menguatkan laporan yang akan diajukan.
Dengan ditemukannya beberapa alat bukti tersebut, Jose menduga Kepolisian juga menggunakan peluru tajam dalam mengamankan aksi unjuk rasa. Hal ini, tentunya tak tepat. Sebab, pihak yang dihadapi adalah rakyat yang tak memiliki senjata dan hanya menyuarakan aspirasinya.
“Ini hanya sebuah demonstrasi, orang tak pakai senjata, cuma batu. Jadi, saya rasa ini tak seimbang dengan senjata api yang dipunyai aparat,” ujarnya.
Selain itu, Jose menekankan, penyerangan terhadap petugas medis dan para pendemo itu sangat melanggar aturan dan bertentangan dengan Konvensi Jenewa. Berdasarkan Konvensi Jenewa, apabila kondisi berat seperti perang saja, relawan medis, sipil, dan wanita itu dilindungi. Apalagi, hanya aksi demonstrasi yang tak seberat peperangan.
“Perang saja ada etika, apalagi hanya demo. Tak bisa, perang bunuh orang sembarangan. Ini dinyatakan dalam Geneva Convention, meski terjadi kericuhan, tak begitu penanganannya. Menghadapi sipil, tidak dengan cara militer,” kata Jose.
Sebelumnya, Mabes Polri menjelaskan prosedur penggunaan peluru tajam saat menghadapi kerusuhan aksi massa yang membahayakan masyarakat maupun aparat keamanan.
Hal itu terkait polemik penemuan peluru tajam pada salah satu mobil Brimob saat aksi 22 Mei 2019 di Slipi, Jakarta Barat.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo di Jakarta, Kamis, menjelaskan mobil itu milik Komandan Kompi (Danki) Brimob.
Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP), Danki Brimob boleh membawa peluru tajam untuk kepentingan peleton antianarkisme dan harus melalui kontrol yang ketat dari komandan batalyon.
“Komandan kompi Brimob nanti membagikannya harus seizin kepada komandan batalyon, baru bisa diserahkan kepada pleton anti anarkis. Pleton anti anarkis ini pun sangat selektif yang boleh menggunakan peluru tajam,” ujar Dedi Prasetyo.
“Tahapan-tahapannya adalah peluru hampa kemudian peluru karet, peluru tajam sesuai SOP penanganan rusuh anarkis. Itu ada SOP dan peraturan Kapolri,” kata Dedi Prasetyo.
Dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, menurut dia, ada enam tahapan dalam menangani para pengunjuk rasa yang bertindak anarkis.
Tahap pertama, kekuatan yang memiliki dampak deteren berupa kehadiran aparat Polri maupun kendaraan anti-huru-hara di lokasi unjuk rasa. Tahap kedua melalui perintah lisan.
Ketiga, kendali tangan kosong lunak berupa gerakan membimbing atau kuncian tangan yang tidak menimbulkan cedera fisik. Tahap keempat adalah kendali tangan kosong keras yang menimbulkan cedera, seperti bantingan atau tendangan yang melumpuhkan.
Kemudian tahapan kelima melalui kendali senjata tumpul yang disesuaikan dengan perlawanan tersangka lantaran berpotensi menyebabkan luka ringan. Dalam tahapan ini, aparat kepolisian menggunakan gas air mata dan tongkat untuk menghalau massa.
Adapun tahap keenam adalah kendali dengan menggunakan senjata api. Tindakan terakhir ini dilakukan dengan pertimbangan matang bahwa perusuh telah membahayakan masyarakat dan petugas.
“Tembakan salvo dengan menggunakan peluru hampa, kemudian tembakan dengan menggunakan peluru karet, tembakan pantul 15 derajat, tembakan dengan peluru tajam juga menggunakan tembakan pantul dulu 45 derajat,” ujarnya.
Dia menuturkan apabila tindakan lunak tidak efektif, maka penggunaan senjata api menjadi opsi terakhir untuk melindungi korban, petugas dan masyarakat yang terancam akibat aksi brutal perusuh.
“Tahapan-tahapan tersebut merupakan SOP yang secara ketat dikontrol. Dan peleton antianarkis itu yang mengendalikan hanya Kapolda,” kata mantan Wakapolda Kalimantan Tengah itu.
Lebih lanjut dia menjelaskan saat perusuh telah melakukan tindakan yang sistematis membahayakan dan bersifat destruktif, seperti pengrusakan, penghancuran hingga pembakaran objek secara masif yang dimiliki masyarakat dan fasilitas publik, maka penggunaan peluru tajam diperbolehkan guna melumpuhkan perusuh anarkis tersebut.
“Itu Kapolda langsung yang memerintahkan. Seperti itu tahapan-tahapannya,” ucapnya. (ik)
Discussion about this post