MENTERI Pariwisata Arief Yahya dan Menteri Hukum-HAM Yasonna Hamonangan Laoly membuat terobosan cerdas. Yakni dengan share data kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk melalui semua pintu imigrasi, secara house to house.
Dengan begitu, setiap entry data masuk ke server Imigrasi, pada dalam waktu yang hampir bersamaan, jumlah, asal negara, jenis kelamin dan umur wisman itu tercatat oleh Kemenpar. “Ini adalah kolaborasi yang sangat maju dalam strategi mengembangkan pariwisata Indonesia,” sebut Arief Yahya.
Di era digital saat ini, kata Mantan Dirut PT Telkom ini, analisa data itu sangat penting dan mendasar. Celakanya, selama ini baik wisman maupun wisnus, data baru masuk ke Kemenpar tiga bulan. Dalam korporasi, skema seperti ini tidak lazim dan tidak masuk akal, karena tidak bisa mengukur program yang sudah dijalankan itu efektif atau in-efektif. Tidak bisa membuat corrective action. “Padahal, dalam bisnis itu, speed atau kecepatan itu nomor satu. Persaingan bisnis itu yang cepat mengalahkan yang lambat! Bukan yang besar menggilas yang kecil,” ungkap Arief.
Karena itu, terobosan untuk mendapatkan data dengan real up date itu, akan sangat berguna dalam menentukan kebijakan, memilih program, dan mengevaluasinya. Base on data, bukan berdasarkan kira-kira atau asumsi kasar. Jika tidak ada data, tidak bisa mengukur, maka sudah pasti tidak akan bisa memanage. “Ini juga bagian dari implementasi instruksi Presiden Joko Widodo yang menetapkan tahun 2016 sebagai Tahun Percepatan. Beliau juga menetapkan, Pariwisata sebagai sector prioritas selain infrastruktur, maritim, pangan dan energi,” jelas Marketeer of The Year 2013 itu.
Menkumham Yasonna Laoly dalam kesempatan itu juga membenarkan pernyataan Arief Yahya. Karena itu, yang semula Menpar hanya menginginkan data jumlah saja tanpa nama dan nomor paspor, Menkumham justru menambahkan data asal negara, umur dan jenis kelamin. “Data itu penting, untuk menentukan ke depan harus berpromosi di mana? Desain untuk usia berapa dan yang disukai oleh pria atau wanita?” kata Yasonna, yang sebelumnya duduk sebagai anggota DPR RI di Komisi II periode 2004 – 2009 itu.
Menpar Arief Yahya menyebut petugas Imigrasi adalah wajah di garda terdepan Indonesia. Jika tampak mukanya berseri, tersenyum dan ramah, ya seperti itulah persepsi wisman terhadap bangsa Indonesia. Begitu pun sebaliknya, jika tampak murung, seram dan tidak bersahabat, maka seperti itulah kesan pertama yang ditangkap oleh para wisatawan. “Jadi wajah Indonesia itu sangat tergantung oleh Dirjen Imigrasi Pak Ronny Sompie,” kata Arief Yahya yang disambut senyum oleh Ronny Sompie yang juga hadir Gedung Sapta Pesona, Merdeka Barat, Jakarta itu.
Kedua menteri pun akhirnya menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) mengenai Pemanfaatan Data Keimigrasian dalam rangka Akselerasi Pembangunan Kepariwisataan dan Perjanjian Kerja Sama perihal Dukungan Data Keimigrasian dalam rangka Akselerasi Pembangunan Kepariwisataan itu.
Poin kedua, Menpar menjelaskan, Index Bisnis Environment Indonesia itu sangat memalukan, yakni nomor 70 dari 141 negara. Pariwisata Indonesia kalah jauh dibandingkan Thailand, Malaysia, bahkan dengan Singapura. Jumlah turis mancanegara di Indonesia tahun lalu hanya 10 juta, bandingkan dengan Malaysia sebanyak 27 juta, dan Thailand 30 juta. “Di pariwisata pendapatan devisa kita hanya US$10 miliar, kalah jauh dengan Malaysia yang US$21 miliar, dan Thailand US$42 miliar,” beber Arief.
Padahal, potensi destinasi wisata Indonesia juah lebih bagus dan indah dibanding dengan negara tetangga. Mengapa? Menurut Menpar Arief, ketika potensi besar tetapi hasilnya minimalis, pasti ada persoalan mendasar di sektor ini. “Dan itu adalah regulasi. Aturan yang menjerat dan mengikat-ikat kita itulah yang harus dibenahi. Jumlah peraturan di tanah air itu ada 42 ribu, dan banyak yang tabrakan antar satu dengan lainnya,” ungkapnya.
Poin ketiga, Menpar Arief sekaligus menjelaskan soal Bebas Visa Kunjungan (BVK) kepada Imigrasi dan Kemenkumham. “Kita harus out world looking. Melihat apa yang dilakukan oleh kesuksesan pihak lain. Singapura dan Malaysia itu sudah lebih dari 150 negara Bebas Visa jauh sebelum Indonesia membuka pintu lebar-lebar buat wisman. Kita jauh terlambat dalam hal Visa Fasilitation, atau dalam pantauan Competitiveness Index versi World Economic Forum, maka international openness kita rendah,” kata pria asal Banyuwangi, sambil memberi ilustrasi dalam bisnis telekomunikasi itu.
Bisnis di telco itu bukan di starpack atau kartu perdana. Tetapi di pulsa. Sama dengan tourism. Bisnisnya bukan di harga Visa, USD 35 per lembar. Namun, bisnisnya ada di spending wisman yang menurut hituangan UNWTO wisman ke Indonesia itu membelanjakan USD 1.200 per kepala.
Menteri Yasonna menyambut baik kerja sama dengan Kemenpar itu. Untuk meningkatkan pariwisata di Indonesia, perlu ditingkatkan sinergitas antar kementerian dan para stakeholder agar berjalan dengan baik. “Semua kementerian dan stakeholder harus mempersiapkan infrastruktur dan perangkat pendukung lainnya agar para wisatawan dapat menikmati potensi wisata Indonesia secara optimal,” kata Yasonna.
Menkumham menyatakan siap membantu Kemenpar mendapatkan data wisatawan asing yang ada di Indonesia. “Kami akan bergandengan tangan dengan Kemenpar, apa yang bisa kami bantu akan kami lakukan,” ucap Yasonna. (*)
Discussion about this post