KALAMANTHANA, Muara Teweh – Solidaritas terhadap Antonius (52),petani asal Kamawen, Kabupaten Barito Utara, terpidana pembakaran lahan, terus berdatangan dari berbagai pihak.
Paling baru datang dari Pastor Paroki Santa Maria de La Salette, Muara Teweh, Yustinus Wantung, Pr. Dia menyerukan kepada para umat di gerejanya untuk membantu Antonius lewat donasi receh.
Seruan tersebut disampaikan usai Misa Minggu (19/9/2021) di Muara Teweh. “Saya minta umat membantu Pak Antonius, karena harus membayar denda Rp50 juta. Kita memulai bantuan dengan uang receh yang ada di rumah masing-masing umat. Bantuan bisa diserahkan ke Pastoran,” imbuh Pastor Wantung.
Baca Juga: Solidaritas Uang Receh untuk Bantu Bayar Denda Antonius Rp50 Juta
Bagi umat Katolik yang mau donasi uang receh untuk Antonius, bisa langsung mengantar ke Pastoran Gereja Katolik Santa Maria de La Salette Muara Teweh, atau mengumpul ke lingkungan masing-masing.
Sebelumnya, Dewan Adat dan beberapa organisasi Dayak di Kabupaten Barito Utara, lebih dahulu menginisiasi dan menghimpun bantuan kepada Antonius, sejak sejak Kamis (16/9) siang.
“Pengumpulan uang receh dimulai dari hari ini. Sudah terkumpul uang receh sebanyak Rp50 ribu dan lainnya Rp1 juta donasi dari berbagai pihak,” ujar Ketua DAD Barito Utara Jonio Suharto kepada Kalamanthana.id, Kamis siang.
Seperti dikutip dari Mongabay, edisi 9 Maret 2021, Antonius menelan pil pahit atas putusan Hakim Pengadilan Negeri Muara Teweh, yang menghukumnya satu 1 tahun penjara dan denda Rp50 juta sunsider tiga bulan.
Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa sebelumnya, dua bulan penjara dan denda Rp500 ribu, atas tuduhan membakar lahan di jalan Desa Kamawen – Desa Paring Lahung, Kecamatan Montallat, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Antonius menjalani persidangan 11 kali sebelum pembacaan vonis. Sebagai masyarakat kecil, dia tidak punya pekerjan tetap. Apa saja dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kadang menyadap karet, memotong rotan, atau membersihkan kebun orang.
Lelaki ini tidak pernah menyangka, jika upayanya membantu memadamkan kobaran api di lahan tetangganya, justru mengantarnya ke balik jeruji besi.
Hakim Ketua Pengadilan Negeri Muara Teweh, juga halim ketua Cipto HP Nababan pada Senin (2/3/2020) dalam putusannya menyatakan Antonius bersalah melanggar Pasal 108 Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, karena membuka dan mengolah lahan dengan cara membakar.
Baca Juga: Pesta Perak Imamat Pastor Putera Pepas Dirayakan Umat Katolik di Muara Teweh
Hal-hal yang memberatkan terdakwa, antara lain dinilai berbelit-belit dalam memberikan keterangan, perbuatannya memberikan dampak asap yang merugikan orang lain, serta membakar hutan dan lahan yang menyebabkan situasi darurat asap. Bukti yang digunakan untuk menjerat terdakwa adalah sepotongan kayu bakar dan korek api atau macis merek tokai.
Jubendri Lusfernando, pendamping Antonius selama proses pengadilan hingga putusan, mengatakan Antonius tidak memilik pengacara atau penasehat hukum. Jubendri mendampingi karena Antonius kesulitan berbahasa Indonesia.
“Dalam sidang, Antonius mengalami kesulitan. Pertanyaan jaksa maupun hakim sangat sulit dia pahami,” tuturnya kepada Mongabay Indonesia, Jumat (06/3/2020).
Sehingga, Antonius kurang mampu menjawab atau mempertahankan argumentasinya. Akibatnya, banyak hal merugikannya selama di persidangan.
“Beliau tidak mampu menyanggah, tidak juga mampu membantah karena tidak paham apa yang dijelaskan dan yang disampaikan. Di sini ada kejanggalan untuk ditelaah. Tidak hanya di Barito Utara, seluruh tokoh adat dan masyarakat di Kalimantan Tengah mengecam putusan hakim yang jauh dari keadilan itu,” tuturnya.
Jauh sebelum kebakaran yang menyebabkan penangkapan Antonius, Jubendri menambahkan, memang telah terjadi kebakaran. Tetapi bukan berasal dari kebun Antonius.
“Tidak mungkin Antonius membakar kebunnya sendiri seperti yang dituduhkan. Di kebunnya itu terdapat sawit yang sudah tumbuh sejak 2017 dan karet,” jelasnya.
Lokasi kebun dan lahan yang terbakar di jalan poros Desa Kamawen – Desa Paring Lahung, Kecamatan Montallat, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Berdasarkan kronologi kejadian yang diceritakan Antonius melalui Jubendri Lusfernando, kejadian berawal dari temuan titik api oleh warga di Desa Kamawen-Paring Lahung, pada 12 September 2019. Warga selanjutnya melapor ke BPBD di Muara Teweh, 13 September, dengan tujuan dibantu untuk memadamkan api.
Merespon laporan itu, BPBD meminta masyarakat mengirimkan foto lokasi dan warga yang turun mengambil foto lokasi kebakaran adalah Antonius, pada 14 September. Lokasi lahan terbakar milik warga bernama Sri Munarti, yang berjarak 250 meter dari lahan Antonius. Pada 15 September setelah mendapatkan foto, BPBD Muara Teweh turun ke lokasi memadamkan api, yang juga dibantu warga dan Antonius.
Saat pemadam, tim BPBD menggunakan pondok di kebun Antonius sebagai tempat istirahat. Pada 19 September, ketika Antonius bersama keluarga melintas jalan Desa Kamawen-Desa Paring Lahung, tepat di lokasi bekas kebakaran sudah menunggu seorang anggota Polsek Montallat.
Saat itu, dikatakan Antonius melalui Jubendri, ia diminta pihak Polsek untuk mengakui jika dia yang membakar lahan tersebut. Jika tidak mengaku, akan ditahan dan tanahnya diambil. Sebaliknya, jika mengaku hanya dikenakan wajib lapor, tanpa ditahan. Ketakutan, Antonius membuat pernyataan mengakui perbuatannya dan diminta memberikan sebuah macis bermerek Tokai biru sebagai barang bukti.
Pada 21 November, Antonius dipanggil kembali ke Polsek, sekaligus diminta membayar denda, namun ia tidak memiliki uang. Di hari yang sama, ia dibawa ke kejaksaan, ditetapkan sebagai tahanan di rumah tahanan Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara.
Atas dasar vonis hakim, Jubendri bersama sejumlah lembaga dan organisasi masyarakat adat Dayak melakukan banding.
“Antonius bukan penjahat lingkungan hidup, tidak membakar lahan. Dia dijebak dan dijadikan korban, secara khusus masyarakat Dayak Kalimantan Tengah. Peladang /petani Dayak bukan penjahat. Menghukum peladang, menghukum petani yang tidak bersalah sama halnya menghukum nenek moyang kami sebagai orang Dayak yang sudah hidup sebelum adanya aturan pemerintah,” tutur Jubendri.
Belakangan ini, putusan banding Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah dan putusan Kasasi MA justru menguatkan putusan PN Muara Teweh. Antonius mesti menjalani sisa tahanan di Lapas dan denda Rp50 juta. Jika denda tak bisa dibayarkan, masa tahanan ditambah tiga bulan.(melkianus he)
Discussion about this post